Saturday, June 18, 2022

Semangat Terjaga, Berkat Pewangi Pakaian Terbaik




Produk Unilever Korean Strawberry | Foto: MB Communication 

Para Pembaca Yang Berbahagia, semoga kabarnya baik dan sehat, ya.
Saya pun baik, sehat, dan bahagia. Pasalnya, saya baru saja memakai produk baru dari Unilever Korean Strawberry, khususnya pewangi pakaian -- Molto Korean Strawberry. Seminggu terakhir ini saya puas dengan hasil cucian pakaian saya setelah menggunakan pelembut pakaian yang saya beli melalui marketplace Tokopedia.

Begini ceritanya, saya terkesan hingga membeli produk Korean Stroberry baru yang wanginya manis dan segar ini, setelah menemukannya di daftar barang jualan di Tokopedia.

Saya baca keterangan produknya, bahwa Molto Perfume Boost Korean Strawberry memberikan parfum 7X lebih wangi, dan yang lebih saya butuhkan adalah keunggulannya melindungi dari 7 jenis bau membandel. Nah, bau apa saja yang membandel itu? Pada umumnya kita tahu berbagai bau itu -- bau keringat, bau badan, bau asap, bau polusi, juga bau amis.

Begitu pesanan datang, saya segera mencoba untuk pertama kalinya. Mmmm wanginya bikin jatuh cinta. Ya bagaimana tidak, pewangi dan pelembut pakaian ini dibuat dengan teknologi MoodBoost, dan memang setelah memakainya,  saya merasa mantap dan percaya diri dengan aroma wanginya yang mewah.

Molto Korean Strawberry, Rasakan Perbedaannya
Memang sebelumnya saya agak galau.
Perkaranya mungkin sepele pakaian yang baru dicuci beraroma lembab, kadang malah seperti cucian basi. Sebenarnya sebelum dijemur, pakaian yang habis dicuci sudah saya rendam dengan pewangi pakaian. Tapi rasanya itu masih kurang ngefek.

Penyebabnya adalah cuaca yang menurut saya random dan tidak menentu. Sebentar mendung lalu hujan petir, lain waktu di hari yang sama cuaca panas berubah tiba-tiba hujan. Kejadian seperti itu nyaris setiap hari, saya jadi mikir. Iya mikir, apa keadaan ini nggak bisa dicarikan solusinya? Maklum saja, saya mencuci sendiri pakaian keluarga. Kalau cucian nggak kering sempurna, repotlah saya. Pakaian lembab, bau asem cenderung apek, kadang malah lebih buruk dari itu.

Ini makin berabe kalau saya ada acara di luar, membutuhkan pakaian yang nyaman dan itu hal yang penting. Gimana kita bisa tetap percaya diri saat panas-panasan,  mencari spot bagus bila pas harus melakukan pemotretan -- salah satu kegiatan yang lumayan rutin saya lakukan.

Intinya mengenakan pakaian yang bersih, wangi, dan nyaman buat tubuh itu menjaga saya agar tetap percaya diri saat harus berinteraksi dengan orang lain. Atoma diri wangi, segar, dan menyemangatkan.

Pernahkah Anda merasa malas saat akan beraktivitas di pagi hari? Itu saya, walaupun tidak sering. Biasanya cara saya mengatasi rasa malas ini dengan  mandi! Kedengarannya sederhana, namun efeknya luar biasa lho. Saat mandi, saya menggunakan sabun yang menyegarkan, misalnya yang  wanginya beraroma buah! 

Itu belum cukup. Setelah mandi, kesegaran tubuh menjadi optimal bila kita kenakan pakaian bersih dan juga wangi. Kebayang nggak sih, sudah segar setelah mandi, lha pakaiannya bekas yang sudah kotor, bau keringatlah, debulah, amis apalagi yang mungkin karena sempat dipakai saat memasak ikan  hahaha.

Aroma pakaian yang kita kenakan itu berpengaruh juga pada mood dan otak kita, setidaknya itu menurut pengalaman saya. Betul nggak?

Di rumah saat kita tidur, rasanya sangat menyenangkan bila sprei, selimut dan bantal beraroma wangi segar dan manis seperti stroberi, misalnya. Tidurnya lelap, mimpi indah pula, ahay!

Ini kunci kebahagiaan kecil saya. Kalau mood di pagi hari sudah bagus, pastinya hari saya terasa ringan, dan lancar menjalani berbagai kegiatan di hari itu.

Tips Singkat Mencuci Pakaian agar Wangi Sepanjang Hari

Kita perlu tahu bahwa beberapa faktor penyebab apeknya pakaian, antara lain jenis baju, jenis deterjen, pola cuaca, juga cara mencuci pakaian dengan benar.

Usahakan mencuci saat cuaca cerah. Namun dengan cuaca yang cepat berubah, tentu masalah ini harus disiasati agar cucian sukses dan hasilnya baik. Ini misalnya 
bila hujan tak kunjung reda, kita bisa memeras baju, mengeringkan di mesin pengering dan diletakkan di hanger untuk diangin-anginkan di tempat yang sesuai atau mendukung.

Rajin menjaga kebersihan mesin cuci itu penting.

Saat merendam pakaian, batasi waktunya agar tidak berlama-lama. Bila terpaksa harus merendam baju agak lama untuk meluruhkan kotoran, cukup dengan air saja. Baru setelah pakaian diperas, gunakan deterjen dan cukup selama 30 menit. Bila mencuci secara manual, lalu kucek dan bilas dengan baik sesuai bahan pakaiannya. 

Nah, kini saatnya merendam cucian dengan pelembut dan pewangi pakaian yang tepat. Itu pun cukup sekitar 15 menit saja. Baru sesudahnya segera jemur cucian di tempat yang cukup sinar matahari, atau sedikit berangin.

Molto Korean Strawberry, Rekomendasi Pewangi  Pakaian

Varian terbaru dari Molto ini wanginya segar dan manis, seperti buah strawberry dari Korea yang populer itu.

Molto Korean Strawberry ini 7x lebih wangi dari varian Molto yang lain. Wanginya tahan lama. Karena ada rasa-rasa Korea begitu, pewangi sekaligus pelembut pakaian keluarga ini disebut sebagai pewangi pakaian Korea.

Produk Unilever Korean Strawberry Lainnya

Selain rekomendasi pewangi dan pelembut pakaian terbaik Molto Korean Strawberry, sekalian saja saya gunakan  detergen, pencuci piring, dan pembersih lantai beraroma Korean Strawberry juga.
Ini dia yang saya maksud.

• Superpell Korean Strawberry membuat lantai menjadi higienis, dan wangi mewahnya bertahan selama delapan jam.

• Sunlight Extra Korean Strawberry yang memadukan ekstrak jeruk nipis dan aroma segar stroberi. Piring dan peralatan masak lainnya jadi bersih, kesat dan wangi segar.

• Rinso Bubuk Korean Strawberry Powder ampuh menghilangkan noda dan bau tak sedap, warna pakaian tetap cemerlang, dan wanginya pun tahan lama.

Teman-teman pembaca, demikian pengalaman saya dalam hal cuci-mencuci dengan pelembut pakaian keluarga yang bernuansa Korea. Bagaimanapun, kita berupaya menjaga mood yang baik, dan semangat beraktivitas. Menggunakan pewangi pakaian keluarga yang tepat -- Molto Korean Strawberry wanginya bikin jatuh cinta. Cobalah sendiri!

Oh ya, saya membeli Molto   pewangi pakaian Korea ini, dan juga produk Unilever  rekomendasi terbaik yang saya sebutkan tadi di salah satu marketplace online. Pelembut pakaian Korea ini tersedia juga di marketplace lainnya, yaitu Tokopedia, Shopee, atau JD ID. Kemasan Molto Korean Strawberry saat ini adanya yang berukuran 680ml dengan harga pasaran Rp. 16.900.

Bete karena pakaian yang baru dicuci bau apek atau nggak enak? Itu tidak terjadi saat saya menggunakan pelembut pakaian Molto Korean Strawberry. Pewangi pakaian (bayi/ anak/ keluarga) ini adalah rekomendasi pewangi pakaian terbaik.

Alhasil, hati senang, rasa percaya diri terjaga, pikiran terang, akhirnya yakin menjalani keseharian lebih bahagia, sehat, dan bugar. Kenapa harus menunda?
Ingat Korean Strawberry, ingat rekomendasi pewangi pakaian Molto Korean Strawberry, wanginya bikin jatuh cinta.

Salam sehat, dan sukses mencuci 😉
Indria Salim

Saturday, April 22, 2017

Persiapanku Liburan ke Eropa

[caption caption="Tentang Perjalanan |Foto: traveljhum.wordpress.com"][/caption]
Sejak terkahir kali aku ke Singapura tahun 2010, perjalanan terjauh yang pernah kulakukan sebatas antar pulau di Indonesia. Kok istilahnya jadi seperti layanan pesan antar ya, “antar pulau” hehehe ..

 Sebagian besar masyarakat tentu tahu bahwa melakukan perjalanan ke manca negara itu kalau dengan swa sembada tentu butuh banyak usaha: menabung, bekerja keras, atau lainnya. Sebagian lagi cukup beruntung bisa menjejakkan kaki di negara orang, melihat kehidupan yang mungkin jauh berbeda dari yang ada di tanah air – karena ada penugasan ke luar negeri. Nah, kali ini aku bisa merancang sebuah kunjungan bagi diri sendiri, bersenang-senang dengan biaya sendiri, dan cukup independen karena ini adalah perjalanan bebas sponsor dan penugasan dari siapa pun.

Tak terbayangkan melonjaknya perasaan ini -- aku super excited, akhirnya aku akan ke Perancis. Status: segera.

Ini persiapan terakhirku:
 Paspor - chek (valid masih sampai 2 tahun ke depan)
 Visa - check (Schengen Perancis)
 Tiket + asuransi perjalanan jangka panjang -- check
 Logistik - check (indomie segala rasa, bubur instan, srundeng, abon, bubuk cabe kumplit)
 Obat & PPPK: Rantin, diatab, balsem cap macan, minyak kayu putih, parasetamol, minyak sereh, obat tetes mata -- check
 Pakaian - check (jelang musim semi gak bawa banyak, pusing koper jadi berat – kalau perlu mengirit laundry ala side A/side B aja deh)
 Duit - check (sebagian bayar pakai Citibank CC aja, platinum card ini)
 Kamus Perancis-Inggris/ Inggris-Perancis --- check
Gawai (2 buah), power bank, kamera, USB flash disk --- check
 Tas besar kosong (buat cadangan nampung belanjaan di 'sana') -- check
 Alamat "contact person" dan nomor telp penting – check
Daftar titipan teman-teman --- check
 Cinderamata pernik-pernik buat yang perlu di sana
 Peta dan daftar tujuan utama – check
Ntar malam aku bisa bobo' cantik deh. Siap bertualang.
*) Susan Sontag adalah seorang penulis, sutradara film, guru, dan aktivis politik berkebangsaan Amerika. Karya besar pertamanya adalah sebuah essay berjudul "Notes on 'Camp'" (1964).

Selamat, Anda sudah sampai di kawasan ...
[caption caption="April Mop |Foto: m.infospesial.net"][/caption] 
Mohon maaf, para pembaca. Ini murni lelucon.

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana.
Selengkapnya di Sini

Manfaat Penting Sarapan

Sarapan Itu Vital |Foto: Indria Salim
Kala kita bergegas pergi bekerja, atau bersekolah, atau mulai melakukan aktivitas pagi – ingatlah selalu untuk menyempatkan sarapan. Lebih praktis dan ringan, lebih baik. Ringan tidak berarti miskin gizi. Praktis itu adalah bila persiapan memasak atau penyediaannya tidak menyita waktu dan konsentrasi.
Nasi Pecel, sederhana dan bergizi |Foto Indria Salim
Sebagai orang Indonesia, tampaknya kita beruntung punya banyak pilihan dan fleksibilitas menu pagi. Secangkir teh hangat, atau kopi panas dengan setangkup roti mentega isi telur dadar, atau dua butir telur rebus sudah memadai, rasanya. Atau, seporsi sedang nasi goreng ayam dan telur, dan segelas air putih dengan irisan lemon juga cocok. Atau kalau sempat, sepiring nasi pecel sayuran lengkap dengan lauk pilihan (tahu, tempe, telur) – nah, itu baru sebagian contoh sekilas. 
Nasi Capcay, Sayuran dan Protein |@Indria Salim
Yang ingin diet jantung sehat ala gaya modern, cukup membuat semangkuk bubur oatmeal, bisa dipadu dengan potongan pisang yang harum dan manis rasanya. Cocok juga.
Sarapan khas Indonesia: Nasi Goreng |@Indria Salim
Jadi mengapa sarapan itu perlu? Melupakan sarapan akan membuat kita bahkan lapar berlebihan, lalu tanpa sadar cenderung ngemil berlebihan, di waktu yang belum tentu tepat karena mungkin saat kita justru harus fokus pada pekerjaan. Siangnya masih juga makan dengan kalap, lha kan belum makan sejak pagi? Lha ngemil itu apa? Ngemil itu bukan makan, tapi mulut komat-kamit mengunyah cemilan, mana puas?
Keleman khas daerah untuk sarapan |@Indria Salim
Sarapan teratur, memberi energi penuh dan juga rasa tenang saat bekerja atau beraktivitas. Tentu ini akan memengaruhi kinerja kita, karena kita akan lebih fokus, bisa membuat keputusan yang tepat dalam berkarya, dan mencegah perut berkeriyut keras di saat dan tempat yang tidak diinginkan. Kebayang malu kan kalau di tengah rapat serius, tiba-tiba terdengar bunyi “kukuruyuk” dan semua menoleh ke arah kita?
Sarapan lemper, lontong, kue pisang |@Indria Salim
Yang utama dan terutama, doa pagi mengucap syukur dan mohon bimbingan kepada Yang Maha Bijaksana, dan sekeping harapan dan tekad melakukan hal terbaik yang kita bisa, dan ini modal memulai langkah pagi. Tentu hal ini berlaku untuk kita yang jadwalnya seperti burung pekicau, bukan burung hantu. Burung pekicau akan melek pagi hari, bernyanyi menyeruak hening pagi, dan mulai mencari makanan dari satu pohon ke pohon lainnya. Cuits cuits cuits …
Sudah dulu, ya. Yuk kita cap cus. |@IndriaSalim


*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana.
Selengkapnya di Sini

Usai Gerimis -- Ini Cerpen Metropolitan

[caption caption="Usai Gerimis, Sore Merayap | Photo by Indria Salim"][/caption]
*[Meskipun berlabelkan puisi, tulisan ini adalah sebuah cerpen, tetapi kemungkinan ada eror dalam sistem penempatannya di pihak K.]*

“Selamat sore, Non. Mau ke mana?”
“Arah Blok M saja, Pak. Ambil rute Pacific Place, ya?”
“Siap.”

Lega rasanya menghamburkan tubuh penatku ke dalam taksi, setelah berdiri hampir setengah jam lamanya di trotoar yang hiruk pikuk tadi. Menunggu taksi adalah keniscayaan yang kuhadapi hampir setiap hari. Kalau beruntung, aku sebelumnya bisa menelpon armada taksi, atau bahkan langsung SMS ke salah satu supir taksi langganan.

Kubuka laptop yang beratnya lumayan membuat lenganku pegal bila menjinjingnya lebih dari 20 menit. Hari Jumat sore, gerimis pula! Cari taksi sulit. Mau pakai model pesan online, aku belum punya gawai untuk memasang aplikasi pemesanan taksi online yang sedang ngetren.  Padahal hari ini aku harus sampai di rumah sebelum pukul 7 malam. Ada yang berulang tahun di rumah, dan aku akan memberikan kejutan buatnya. Hanya ada dia, dan hanya untuk dia maka sekarang kubergegas pulang.

“Pak, kalau jalur kiri agak longgar, pindah saja ya. Pokoknya mana yang kosong, masuk saja. Itu jalur cepat malah mandeg,” sesekali kuingatkan Pak Supir.

Kulihat matanya merah, seperti menahan kantuk. Mungkin juga dia lelah. Mendadak kumerasa seakan duduk di kursinya, kursi yang sama setiap harinya dan kursi tempatnya dia harus berkonsentrasi mengendalikan setir mobilnya. Oh bukan mobilnya, ini mobil perusahaan tempatnya bekerja.

“Pulang kerja, Non?” Pak Supir melihatku dari kaca spion.
Aku kurang nyaman dilihatin dari kaca spion. Kulihat sepasang mata menatapku tajam. ‘Ah, mata merah dan lelah, kenapa aku harus takut?’ batinku geli sendiri.
“Jalan siang, Pak?”
“Saya, Non? Oh enggak, ini malah baru keluar dari pool. Tapi dari rumah memang kurang tidur, mungkin malah nggak tidur. Anak sedang sakit, isteri juga. Repot, Non.”
“Wah, tapi ini nggak bahaya, Pak kalau nyupir sehabis kurang tidur?”
“Sudah biasa, Non. Paling saya minum itu lho Non, minuman Krat**g Da*ng. Lumayan, saya bisa jalan tiap hari. Paling kalau sudah nggak nahan lagi kantuknya, saya minggir sebentar --- ya tidur!”
“Eee Pak, habis ini langsung aja ke arah Jalan Cikajang. Lalu lurus, belok kanan dikit. Nanti kalau sudah dekat, saya kasih tahu berhentinya.”
“Siap, Non.”
“Pak, di depan belok kanan dikit, terus kanan lagi, rumah ke 3 dari kiri berhenti, ya.”
“Nah, kalau gini enak, Non. Kadang saya pusing kalau penumpang nggak tahu jalan, tapi bawaannya suudzon. Kalau saya bilangin rutenya, dikiranya saya sengaja mau muter-muterin penumpang. Padahal saya penginnya menghindari jalan macet.”

 “Ya, orang beda-beda,” pungkasku.

Kututup laptop yang sedari tadi sia-sia menyala. Niat menyelesaikan naskah dokumen yang harus siap kirim besok, terpaksa tertunda dan menunggu nanti malam di rumah. Kusiapkan uang pas sejumlah yang tertera di argo taksi. Kusiapkan uang tips yang akan kuberikan terpisah, sekadar caraku berterima kasih pada Pak Supir.

“Pak, dikit lagi berhenti ya, ya ya di sini saja. Terima kasih, mudah-mudahan isteri dan anaknya lekas sehat kembali. Semoga hari ini laris dan banyak orderan, ya Pak.”

“Non, aduh terima kasih sekali,” nada suara Pak Supir sontak ringan seperti baru menyeruput kopi panas.
Di halaman, semua basah dan cerah. Gerimis membawa berkah, menandai momen hari ulang tahunnya.
‘Selamat ulang tahun, Sayang,’ batinku seperti merapal mantra surgawi. | @IndriaSalim



*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana. Selengkapnya di Sini

Friday, March 31, 2017

Sales Bank Mau Promosi, Nasabah Berceramah Ramah


Ini pengalaman serupa yang kesekian kalinya. Alih-alih terima telepon dan mendengarkan telemarketer/ sales berpromosi, aku malah kasih ceramah nan ramah sepanjang satu jam (beneran), sambil menyampaikan uneg-uneg kekecewaan pelayanan korporat yang diwakili petugas sales tsb. Lalu, sedikit menyuplik kegiatanku menulis di Kompasiana yang (hanya) sesekali itu.

Kubilang, "Sudah lama saya ingin menuliskan pelayanan buruk "nama korporat" ini, tapi kecuali kalau sangat fatal akibatnya -- saya memang agak lambat menuliskan keluhan secara publik.
Sebaliknya saya bisa spontan menuliskan apresiasi atas pelayanan yang baik oleh korporat yang saya amati berproses dari mutu "kurang" berubah menjadi "sangat memuaskan". Hanya saja, menuliskan pujian atas pelayanan korporat / produk merek tertentu perlu bijaksana juga. Salah-salah orang mengira saya dibayar atau mendapat sponsor untuk menuliskan "testimoni" sukarela itu.
(Mas Sales tertawa).

Tadi pagi, aku membuat si sales citibank mendengarkan "ceramah'ku selama satu jam dengan suka rela. Lalu katanya, "Karena percakapan ini direkam, maka waktunya maksimal 1 jam. Karena keluhan ibu menyangkut bidang lain, maka rekaman percakapan tadi akan saya "forward" ke bagian terkait. Terima kasih, saya mendapatkan banyak pelajaran."

Nama akun di Kompasiana apa, Bu. Saya jadi pengin baca tulisannya."

Aku tertawa, "Ayo sekalian nulis di Kompasiana, Mas!"
Sales, "Oh, bukan yang blog pribadi, ya Bu? Lebih suka nulis di situ? Saya nggak pede menulis."
Aku kembali tertawa, "Iya, kalau di 
Kompasiana itu pembacanya kan dari kalangan yang lebih luas. Di sana siapa saja boleh menulis, juga buat yang merasa nggak bisa nulis."

Ngomong-ngomong sudah berapa lama bekerja di tempat sekarang?"
Sales, "Baru satu tahun, Bu."
"Ah, jadi tidak sia-sia saya tadi cerita soal korporat Anda dan membandingkan mutu pelayanannya sebelum dan sesudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini. OK, saya juga mau melanjutkan pekerjaan yang tadi terinterupsi oleh telepon Anda. Semoga sukses dengan tugasnya, ya?
Sales, "Haaha, amin, amin, terima kasih doanya, Bu."

4 oktober 2016 | @IndriaSalim

Tulisan ini pertama kali diunggah oleh Penulis di Kompasiana

Gerson Poyk, Semangat dan Gagasan Idealismu Tetap Menginspirasi


Bagiku menolong orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris, semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain.”

Demikianlah sepenggal kutipan cerpen karya Gerson Poyk – “Jaket Kenangan” yang dimuat di Kompas Minggu, 24 April 2016. Kini Sang Sastrawan baru saja menghadap Sang Khalik, tepatnya pada hari ini, Jumat – 24 Februari 2017 di usianya menjelang 86 tahun.

Penulis mengetahui berita duka ini dari facebook putrinya – Fanny Jonathan Poyk yang juga seorang penulis senior yang dihormati.

Dilahirkan di Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931, Gerson Poyk adalah tamatan SGA Kristen Surabaya pada tahun 1956. Pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) dan Bima -- Sumbawa (1958). Almarhum sempat menekuni bidang jurnalistik sebagai wartawan harian Sinar Harapan (1962-1970).

Mengingat kesederhanaan kehidupannya selama ini, khususnya dalam keterbatasan ekonomi seorang sastrawan idealis, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa beliau adalah penerima beasiswa International Writing Program di University of Iowa, Iowa, yang beliau ikuti dari tahun 1970-1971. Pengalaman internasional lainnya yaitu menjadi peserta seminar sastra di India pada tahun 1982.

Pencapaian Lain

Selain sudah menerbitkan puluhan buku dan menulis cerpen, Gerson Poyk juga meraih banyak penghargaan, antara lain: Hadiah Adinegoro (tahun 1985 dan 1986), hadiah sastra ASEAN (1989), SEA Write Award, dan Lifetime Achievement Award dari harian Kompas.

Cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” mendapat Hadiah Hiburan Majalah Sastra (tahun 1961), cerpen “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian dari redaksi majalah Horison sebagai cerpen yang dimuat di majalah itu pada tahun 1968.

Karya-karyanya antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Jerat (1978), dan Di Bawah Matahari Bali (1982).

Semangat berkarya Gerson Poyk luar biasa, terbukti dengan kehadirannya dalam bedah buku kumpulan puisi karyanya sendiri “Dari Rote ke Iowa”. Itu terjadi pada sebuah acara bedah buku dan pembacaan puisi berjudul “Berpuisi di Rumah Rakyat”, 6 Oktober 2016 di Gedung MPR di Senayan, Jakarta. Kumpulan puisi ini tercatat merupakan kompilasi karya Gerson Poyk yang dibuat sejak tahun 1950-an, menyajikan semacam kisah perjalanan kehidupannya selama menggeluti dunia jurnalistik maupun penulisan karya sastra.

Editor Kompas Putu Fajar Arcana dalam sebuah wawancaranya sekitar 4 tahun lalu, mengutip ungkapan Sang Sastrawan ini demikian, “Menulis tentu bukan sekadar ingin dimuat media dan kemudian hidup. Saya ingin Indonesia ini sadar bahwa kita punya kebudayaan begitu kaya. Makanya sejak dulu saya ingin ada desa budaya-desa budaya di seluruh Tanah Air. Masa depan Indonesia itu ada di desa. Saya yakin kalau desa itu hidup, separuh dari penduduk Jakarta ini pulang kampung.”

Dunia sastra Indonesia berduka cita. Penulis sampaikan turut berduka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga Gerson Poyk, termasuk mBak Fanny Jonathan putri yang selama ini sangat dekat dengan keseharian beliau, mewarisi semangat berkarja penuh idealisme tinggi dari Sang Ayahanda. Adios, Rest in Peace Bapak Gerson Poyk. Semoga arwahnya diterima di tempat terbaik di sisi-Nya. |@Indria Salim-24.02.2017

Referensi:

1

2

3

4

Tulisan ini sebelumnya dikirim Penulis di Kompasiana

Hubungan Antar Sesama Manusia -- Sebuah Sudut Pandang


Lucu itu bila kesehariannya tidak berminat mengenal tetangga padahal keluarga itu pendatang baru (sejak 2-3 tahun ini). Kecenderungannya merugikan, dan itu dirasakan oleh tetangga kanan kirinya. Tampak ada yang "dibanggakannya" padahal ... https://www.facebook.com/images/emoji.php/v7/f4c/1/16/1f642.png ðŸ˜Š


Aku secara naluriah mengabaikan hal itu, dan tidak segan mendahului menyapa. Pertama responnya dingin, kedua nggak begitu dingin tapi sama sekali tidak ada penghargaan atas sapaanku. Ketiga kalinya mendadak nimbrung bicara ketika aku dan beberapa tetangga heboh soal peristiwa kebakaran di lain tempat.


Kemudian sejak itu ybs. mulai tersenyum menanggapi sapaanku. Ya! Sebatas merespon dengan senyuman tipis. Ybs. itu pasutri, dan yang mulai komunikatif ini si isteri yang seringnya belagak sibuk ngobrol berbahasa Inggris dengan anaknya, atau sibuk dengan HP-nya setiap kali aku berpapasan. Tetangga lain sih, pada cuek terhadapnya, cenderung kesal.


Aku tidak terlalu memikirkannya. Sampai pada hari ini dia lewat. Spontan kusapa dan kutawari mangga yang baru kami petik hari ini. Tetangga lain sudah dapat bagian. Dia tersenyum dan bilang mau. Kumasuk mengambil buah yang di dalam rumah. Begitu aku nongol lagi di halaman, sapaan pertamanya bikin aku kaget karena dia "mempertanyakan" penataan pot-pot tanamanku yang kufungsikan sebagai pagar.


Usil juga ibu ini. Nggak pernah menyapa, sekalinya kuajak berkomunikasi kok kagak simpatik. Kubandingkan dengan beberapa tetangga lain yang biasa ngobrol denganku. Kami saling tukar info atau kisah lucu dan lain-lain, tapi tak satu pun di antara kami yang "mencampuri atau kepo" dengan urusan pribadi masing-masing.


Kesimpulan hari ini: Orang bi.sa ramah dengan pihak lain yang lokasinya berjauhan, sekaligus meremehkan dan tidak mengacuhkan pihak yang begitu dekat di lingkungan rumahnya.

Orang yang tampak terlalu gengsi menyapa, tidak peduli lingkungan, ternyata bi.sa lebih kepo dan usil daripada orang yang tampaknya ramai, heboh, dan "interaktif". Mungkin ini soal karakter yang terlalu "kuat" -- terlalu kuat ego dan kebanggaan dirinya ...
Kalau aku cerita begini, biasanya orang bilang, "Hmm kalau itu aku, biarin aja kita nggak usah kenal dengan orang sombong begitu."
https://www.facebook.com/images/emoji.php/v7/f4c/1/16/1f642.png 



Ya gitu deh, keramahtamahan kadang dianggap murahan atau bentuk pengakuan bahwa si ramah itu lebih "sepele" dibanding dirinya yang "hebat."

Dalam hal begini (analogi dalam dunia politik, interaksi dunia maya, interaksi komunitas, dll), apakah kita seiman, sesuku, sepenciptaan atau tidak -- ujung-ujungnya kembali kepada individunya. Pergaulan juga bukan karena kita seiman, sesuku, seprofesi, dan "persamaan-persamaan" lainnya, kan?





Artikel ini sebelumnya dikirim Penulis di Kompasiana