Saturday, April 22, 2017

Usai Gerimis -- Ini Cerpen Metropolitan

[caption caption="Usai Gerimis, Sore Merayap | Photo by Indria Salim"][/caption]
*[Meskipun berlabelkan puisi, tulisan ini adalah sebuah cerpen, tetapi kemungkinan ada eror dalam sistem penempatannya di pihak K.]*

“Selamat sore, Non. Mau ke mana?”
“Arah Blok M saja, Pak. Ambil rute Pacific Place, ya?”
“Siap.”

Lega rasanya menghamburkan tubuh penatku ke dalam taksi, setelah berdiri hampir setengah jam lamanya di trotoar yang hiruk pikuk tadi. Menunggu taksi adalah keniscayaan yang kuhadapi hampir setiap hari. Kalau beruntung, aku sebelumnya bisa menelpon armada taksi, atau bahkan langsung SMS ke salah satu supir taksi langganan.

Kubuka laptop yang beratnya lumayan membuat lenganku pegal bila menjinjingnya lebih dari 20 menit. Hari Jumat sore, gerimis pula! Cari taksi sulit. Mau pakai model pesan online, aku belum punya gawai untuk memasang aplikasi pemesanan taksi online yang sedang ngetren.  Padahal hari ini aku harus sampai di rumah sebelum pukul 7 malam. Ada yang berulang tahun di rumah, dan aku akan memberikan kejutan buatnya. Hanya ada dia, dan hanya untuk dia maka sekarang kubergegas pulang.

“Pak, kalau jalur kiri agak longgar, pindah saja ya. Pokoknya mana yang kosong, masuk saja. Itu jalur cepat malah mandeg,” sesekali kuingatkan Pak Supir.

Kulihat matanya merah, seperti menahan kantuk. Mungkin juga dia lelah. Mendadak kumerasa seakan duduk di kursinya, kursi yang sama setiap harinya dan kursi tempatnya dia harus berkonsentrasi mengendalikan setir mobilnya. Oh bukan mobilnya, ini mobil perusahaan tempatnya bekerja.

“Pulang kerja, Non?” Pak Supir melihatku dari kaca spion.
Aku kurang nyaman dilihatin dari kaca spion. Kulihat sepasang mata menatapku tajam. ‘Ah, mata merah dan lelah, kenapa aku harus takut?’ batinku geli sendiri.
“Jalan siang, Pak?”
“Saya, Non? Oh enggak, ini malah baru keluar dari pool. Tapi dari rumah memang kurang tidur, mungkin malah nggak tidur. Anak sedang sakit, isteri juga. Repot, Non.”
“Wah, tapi ini nggak bahaya, Pak kalau nyupir sehabis kurang tidur?”
“Sudah biasa, Non. Paling saya minum itu lho Non, minuman Krat**g Da*ng. Lumayan, saya bisa jalan tiap hari. Paling kalau sudah nggak nahan lagi kantuknya, saya minggir sebentar --- ya tidur!”
“Eee Pak, habis ini langsung aja ke arah Jalan Cikajang. Lalu lurus, belok kanan dikit. Nanti kalau sudah dekat, saya kasih tahu berhentinya.”
“Siap, Non.”
“Pak, di depan belok kanan dikit, terus kanan lagi, rumah ke 3 dari kiri berhenti, ya.”
“Nah, kalau gini enak, Non. Kadang saya pusing kalau penumpang nggak tahu jalan, tapi bawaannya suudzon. Kalau saya bilangin rutenya, dikiranya saya sengaja mau muter-muterin penumpang. Padahal saya penginnya menghindari jalan macet.”

 “Ya, orang beda-beda,” pungkasku.

Kututup laptop yang sedari tadi sia-sia menyala. Niat menyelesaikan naskah dokumen yang harus siap kirim besok, terpaksa tertunda dan menunggu nanti malam di rumah. Kusiapkan uang pas sejumlah yang tertera di argo taksi. Kusiapkan uang tips yang akan kuberikan terpisah, sekadar caraku berterima kasih pada Pak Supir.

“Pak, dikit lagi berhenti ya, ya ya di sini saja. Terima kasih, mudah-mudahan isteri dan anaknya lekas sehat kembali. Semoga hari ini laris dan banyak orderan, ya Pak.”

“Non, aduh terima kasih sekali,” nada suara Pak Supir sontak ringan seperti baru menyeruput kopi panas.
Di halaman, semua basah dan cerah. Gerimis membawa berkah, menandai momen hari ulang tahunnya.
‘Selamat ulang tahun, Sayang,’ batinku seperti merapal mantra surgawi. | @IndriaSalim



*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana. Selengkapnya di Sini

No comments:

Post a Comment