“Bagiku menolong
orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk
dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris,
semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain.”
Demikianlah
sepenggal kutipan cerpen karya Gerson Poyk – “Jaket Kenangan” yang dimuat di
Kompas Minggu, 24 April 2016. Kini Sang Sastrawan baru saja menghadap Sang
Khalik, tepatnya pada hari ini, Jumat – 24 Februari 2017 di usianya menjelang
86 tahun.
Penulis
mengetahui berita duka ini dari facebook putrinya – Fanny Jonathan Poyk yang
juga seorang penulis senior yang dihormati.
Dilahirkan di Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16
Juni 1931, Gerson Poyk adalah tamatan SGA Kristen Surabaya pada tahun 1956.
Pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) dan Bima -- Sumbawa
(1958). Almarhum sempat menekuni bidang jurnalistik sebagai wartawan harian Sinar
Harapan (1962-1970).
Mengingat kesederhanaan kehidupannya selama ini, khususnya dalam keterbatasan ekonomi seorang sastrawan idealis, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa beliau adalah penerima beasiswa International Writing Program di University of Iowa, Iowa, yang beliau ikuti dari tahun 1970-1971. Pengalaman internasional lainnya yaitu menjadi peserta seminar sastra di India pada tahun 1982.
Mengingat kesederhanaan kehidupannya selama ini, khususnya dalam keterbatasan ekonomi seorang sastrawan idealis, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa beliau adalah penerima beasiswa International Writing Program di University of Iowa, Iowa, yang beliau ikuti dari tahun 1970-1971. Pengalaman internasional lainnya yaitu menjadi peserta seminar sastra di India pada tahun 1982.
Pencapaian Lain
Selain sudah menerbitkan puluhan buku dan menulis cerpen,
Gerson Poyk juga meraih banyak penghargaan, antara lain: Hadiah Adinegoro (tahun
1985 dan 1986), hadiah sastra ASEAN (1989), SEA Write Award, dan Lifetime
Achievement Award dari harian Kompas.
Cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”
mendapat Hadiah Hiburan Majalah Sastra (tahun 1961), cerpen “Oleng-Kemoleng”
mendapat pujian dari redaksi majalah Horison sebagai cerpen yang dimuat di
majalah itu pada tahun 1968.
Karya-karyanya antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang
Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-giring (1982), Matias Akankari
(1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia
Nusa Tenggara (1976), Jerat (1978), dan Di Bawah Matahari Bali (1982).
Semangat berkarya Gerson Poyk luar biasa, terbukti dengan
kehadirannya dalam bedah buku kumpulan puisi karyanya sendiri “Dari Rote ke
Iowa”. Itu terjadi pada sebuah acara bedah buku dan pembacaan puisi berjudul
“Berpuisi di Rumah Rakyat”, 6 Oktober 2016 di Gedung MPR di Senayan, Jakarta.
Kumpulan puisi ini tercatat merupakan kompilasi karya Gerson Poyk yang dibuat
sejak tahun 1950-an, menyajikan semacam kisah perjalanan kehidupannya selama menggeluti
dunia jurnalistik maupun penulisan karya sastra.
Editor Kompas Putu Fajar Arcana dalam sebuah wawancaranya
sekitar 4 tahun lalu, mengutip ungkapan Sang Sastrawan ini demikian, “Menulis tentu bukan sekadar ingin dimuat
media dan kemudian hidup. Saya ingin Indonesia ini sadar bahwa kita punya
kebudayaan begitu kaya. Makanya sejak dulu saya ingin ada desa budaya-desa
budaya di seluruh Tanah Air. Masa depan Indonesia itu ada di desa. Saya yakin
kalau desa itu hidup, separuh dari penduduk Jakarta ini pulang kampung.”
Dunia sastra Indonesia berduka cita. Penulis sampaikan turut
berduka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga Gerson Poyk, termasuk mBak Fanny
Jonathan putri yang selama ini sangat dekat dengan keseharian beliau, mewarisi
semangat berkarja penuh idealisme tinggi dari Sang Ayahanda. Adios, Rest in
Peace Bapak Gerson Poyk. Semoga arwahnya diterima di tempat terbaik di
sisi-Nya. |@Indria Salim-24.02.2017
Referensi:
Tulisan ini sebelumnya dikirim Penulis di Kompasiana
No comments:
Post a Comment