Friday, March 31, 2017

Sales Bank Mau Promosi, Nasabah Berceramah Ramah


Ini pengalaman serupa yang kesekian kalinya. Alih-alih terima telepon dan mendengarkan telemarketer/ sales berpromosi, aku malah kasih ceramah nan ramah sepanjang satu jam (beneran), sambil menyampaikan uneg-uneg kekecewaan pelayanan korporat yang diwakili petugas sales tsb. Lalu, sedikit menyuplik kegiatanku menulis di Kompasiana yang (hanya) sesekali itu.

Kubilang, "Sudah lama saya ingin menuliskan pelayanan buruk "nama korporat" ini, tapi kecuali kalau sangat fatal akibatnya -- saya memang agak lambat menuliskan keluhan secara publik.
Sebaliknya saya bisa spontan menuliskan apresiasi atas pelayanan yang baik oleh korporat yang saya amati berproses dari mutu "kurang" berubah menjadi "sangat memuaskan". Hanya saja, menuliskan pujian atas pelayanan korporat / produk merek tertentu perlu bijaksana juga. Salah-salah orang mengira saya dibayar atau mendapat sponsor untuk menuliskan "testimoni" sukarela itu.
(Mas Sales tertawa).

Tadi pagi, aku membuat si sales citibank mendengarkan "ceramah'ku selama satu jam dengan suka rela. Lalu katanya, "Karena percakapan ini direkam, maka waktunya maksimal 1 jam. Karena keluhan ibu menyangkut bidang lain, maka rekaman percakapan tadi akan saya "forward" ke bagian terkait. Terima kasih, saya mendapatkan banyak pelajaran."

Nama akun di Kompasiana apa, Bu. Saya jadi pengin baca tulisannya."

Aku tertawa, "Ayo sekalian nulis di Kompasiana, Mas!"
Sales, "Oh, bukan yang blog pribadi, ya Bu? Lebih suka nulis di situ? Saya nggak pede menulis."
Aku kembali tertawa, "Iya, kalau di 
Kompasiana itu pembacanya kan dari kalangan yang lebih luas. Di sana siapa saja boleh menulis, juga buat yang merasa nggak bisa nulis."

Ngomong-ngomong sudah berapa lama bekerja di tempat sekarang?"
Sales, "Baru satu tahun, Bu."
"Ah, jadi tidak sia-sia saya tadi cerita soal korporat Anda dan membandingkan mutu pelayanannya sebelum dan sesudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini. OK, saya juga mau melanjutkan pekerjaan yang tadi terinterupsi oleh telepon Anda. Semoga sukses dengan tugasnya, ya?
Sales, "Haaha, amin, amin, terima kasih doanya, Bu."

4 oktober 2016 | @IndriaSalim

Tulisan ini pertama kali diunggah oleh Penulis di Kompasiana

Gerson Poyk, Semangat dan Gagasan Idealismu Tetap Menginspirasi


Bagiku menolong orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris, semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain.”

Demikianlah sepenggal kutipan cerpen karya Gerson Poyk – “Jaket Kenangan” yang dimuat di Kompas Minggu, 24 April 2016. Kini Sang Sastrawan baru saja menghadap Sang Khalik, tepatnya pada hari ini, Jumat – 24 Februari 2017 di usianya menjelang 86 tahun.

Penulis mengetahui berita duka ini dari facebook putrinya – Fanny Jonathan Poyk yang juga seorang penulis senior yang dihormati.

Dilahirkan di Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931, Gerson Poyk adalah tamatan SGA Kristen Surabaya pada tahun 1956. Pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) dan Bima -- Sumbawa (1958). Almarhum sempat menekuni bidang jurnalistik sebagai wartawan harian Sinar Harapan (1962-1970).

Mengingat kesederhanaan kehidupannya selama ini, khususnya dalam keterbatasan ekonomi seorang sastrawan idealis, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa beliau adalah penerima beasiswa International Writing Program di University of Iowa, Iowa, yang beliau ikuti dari tahun 1970-1971. Pengalaman internasional lainnya yaitu menjadi peserta seminar sastra di India pada tahun 1982.

Pencapaian Lain

Selain sudah menerbitkan puluhan buku dan menulis cerpen, Gerson Poyk juga meraih banyak penghargaan, antara lain: Hadiah Adinegoro (tahun 1985 dan 1986), hadiah sastra ASEAN (1989), SEA Write Award, dan Lifetime Achievement Award dari harian Kompas.

Cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” mendapat Hadiah Hiburan Majalah Sastra (tahun 1961), cerpen “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian dari redaksi majalah Horison sebagai cerpen yang dimuat di majalah itu pada tahun 1968.

Karya-karyanya antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Jerat (1978), dan Di Bawah Matahari Bali (1982).

Semangat berkarya Gerson Poyk luar biasa, terbukti dengan kehadirannya dalam bedah buku kumpulan puisi karyanya sendiri “Dari Rote ke Iowa”. Itu terjadi pada sebuah acara bedah buku dan pembacaan puisi berjudul “Berpuisi di Rumah Rakyat”, 6 Oktober 2016 di Gedung MPR di Senayan, Jakarta. Kumpulan puisi ini tercatat merupakan kompilasi karya Gerson Poyk yang dibuat sejak tahun 1950-an, menyajikan semacam kisah perjalanan kehidupannya selama menggeluti dunia jurnalistik maupun penulisan karya sastra.

Editor Kompas Putu Fajar Arcana dalam sebuah wawancaranya sekitar 4 tahun lalu, mengutip ungkapan Sang Sastrawan ini demikian, “Menulis tentu bukan sekadar ingin dimuat media dan kemudian hidup. Saya ingin Indonesia ini sadar bahwa kita punya kebudayaan begitu kaya. Makanya sejak dulu saya ingin ada desa budaya-desa budaya di seluruh Tanah Air. Masa depan Indonesia itu ada di desa. Saya yakin kalau desa itu hidup, separuh dari penduduk Jakarta ini pulang kampung.”

Dunia sastra Indonesia berduka cita. Penulis sampaikan turut berduka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga Gerson Poyk, termasuk mBak Fanny Jonathan putri yang selama ini sangat dekat dengan keseharian beliau, mewarisi semangat berkarja penuh idealisme tinggi dari Sang Ayahanda. Adios, Rest in Peace Bapak Gerson Poyk. Semoga arwahnya diterima di tempat terbaik di sisi-Nya. |@Indria Salim-24.02.2017

Referensi:

1

2

3

4

Tulisan ini sebelumnya dikirim Penulis di Kompasiana

Hubungan Antar Sesama Manusia -- Sebuah Sudut Pandang


Lucu itu bila kesehariannya tidak berminat mengenal tetangga padahal keluarga itu pendatang baru (sejak 2-3 tahun ini). Kecenderungannya merugikan, dan itu dirasakan oleh tetangga kanan kirinya. Tampak ada yang "dibanggakannya" padahal ... https://www.facebook.com/images/emoji.php/v7/f4c/1/16/1f642.png ðŸ˜Š


Aku secara naluriah mengabaikan hal itu, dan tidak segan mendahului menyapa. Pertama responnya dingin, kedua nggak begitu dingin tapi sama sekali tidak ada penghargaan atas sapaanku. Ketiga kalinya mendadak nimbrung bicara ketika aku dan beberapa tetangga heboh soal peristiwa kebakaran di lain tempat.


Kemudian sejak itu ybs. mulai tersenyum menanggapi sapaanku. Ya! Sebatas merespon dengan senyuman tipis. Ybs. itu pasutri, dan yang mulai komunikatif ini si isteri yang seringnya belagak sibuk ngobrol berbahasa Inggris dengan anaknya, atau sibuk dengan HP-nya setiap kali aku berpapasan. Tetangga lain sih, pada cuek terhadapnya, cenderung kesal.


Aku tidak terlalu memikirkannya. Sampai pada hari ini dia lewat. Spontan kusapa dan kutawari mangga yang baru kami petik hari ini. Tetangga lain sudah dapat bagian. Dia tersenyum dan bilang mau. Kumasuk mengambil buah yang di dalam rumah. Begitu aku nongol lagi di halaman, sapaan pertamanya bikin aku kaget karena dia "mempertanyakan" penataan pot-pot tanamanku yang kufungsikan sebagai pagar.


Usil juga ibu ini. Nggak pernah menyapa, sekalinya kuajak berkomunikasi kok kagak simpatik. Kubandingkan dengan beberapa tetangga lain yang biasa ngobrol denganku. Kami saling tukar info atau kisah lucu dan lain-lain, tapi tak satu pun di antara kami yang "mencampuri atau kepo" dengan urusan pribadi masing-masing.


Kesimpulan hari ini: Orang bi.sa ramah dengan pihak lain yang lokasinya berjauhan, sekaligus meremehkan dan tidak mengacuhkan pihak yang begitu dekat di lingkungan rumahnya.

Orang yang tampak terlalu gengsi menyapa, tidak peduli lingkungan, ternyata bi.sa lebih kepo dan usil daripada orang yang tampaknya ramai, heboh, dan "interaktif". Mungkin ini soal karakter yang terlalu "kuat" -- terlalu kuat ego dan kebanggaan dirinya ...
Kalau aku cerita begini, biasanya orang bilang, "Hmm kalau itu aku, biarin aja kita nggak usah kenal dengan orang sombong begitu."
https://www.facebook.com/images/emoji.php/v7/f4c/1/16/1f642.png 



Ya gitu deh, keramahtamahan kadang dianggap murahan atau bentuk pengakuan bahwa si ramah itu lebih "sepele" dibanding dirinya yang "hebat."

Dalam hal begini (analogi dalam dunia politik, interaksi dunia maya, interaksi komunitas, dll), apakah kita seiman, sesuku, sepenciptaan atau tidak -- ujung-ujungnya kembali kepada individunya. Pergaulan juga bukan karena kita seiman, sesuku, seprofesi, dan "persamaan-persamaan" lainnya, kan?





Artikel ini sebelumnya dikirim Penulis di Kompasiana

Mengubah Rasa Terpuruk Menjadi Semangat Membara


Judulnya bombastis ya? Sengaja, sih, karena ini dimaksudkan untuk mendongkrak kegalauan. Kegalauan siapa? Ya siapa saja yang merasa galau. Manusia mana yang sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun mengalami kegalauan, putus asa, pesimis akut maupun dadakan, dan seabreg suasana emosi maupun muatan pikiran yang sifatnya negatif lainnya.

Contoh pernyataan di atas itu apa? Misalnya nih, seorang karyawan yang rajin dan sangat berdedikasi terhadap tugas dan tanggungjawabnya di kantor, mendadak merasa terpukul karena tanpa sengaja melakukan kesalahan yang membuatnya kehilangan muka di lingkungan kantornya. Sudah begitu, hampir tidak ada teman-teman yang tampak memberinya dukungan yang membangkitkan semangatnya. Yang ada malah orang ramai-ramai, terus terang, atau bisik-bisik merisak (red: melakukan bully). Tentu itu hak orang yang seringnya di luar kontrol. Kalau sudah begitu, penting bagi karyawan tersebut untuk melakukan instrospeksi, namun juga usaha mengambil pelajaran sebagai hal yang bermanfaat buat perbaikan dan kepercayaan diri selanjutnya.

Contoh lain, seorang mahasiswa ketahuan melakukan plagiat. Makalah yang diserahkan pada dosen, dianggap terlalu “sempurna”. Di depan kelas, dia dipanggil dosen untuk berbicara setelah jam kuliah. Semua temannya pada kepo. Ternyata, dosennya mencurigai bahwa makalah Si mahasiswa itu hasil plagiasi. Andaikata itu terbukt, kebayang kan bagaimana malunya? Nah, intinya – orang lalu bisa melupakan peristiwa itu. Namun belum tentu orang yang sempat kehilangan muka itu dapat segera melupakan begitu saja insiden tersebut. Memang itu tergantung pada pribadi masing-masing orang. Ada yang mudah move on, ada yang perlu waktu pemulihan.

Cukuplah contohnya. Kita fokus pada solusinya, deh. Kok kita? Lho kan aku dan para pembaca? Tulisan ini memang tidak hanya ditujukan kepada pembaca, penulisnya pun tidak terkecuali.

Sebagian orang membayangkan hidup penuh keberhasilan, sebagian lainnya langsung melakukan usaha menuju keberhasilan. Mari kita renungkan mengapa kedua kelompok itu berbeda. Para pemimpi tanpa aksi, cenderung menjadikan rintangan sebagai alasan “berhenti melangkah.” Sebaliknya, para peraih mimpi tidak mudah menyerah pada hal-hal yang membuatnya berhenti, atau menghentikan langkahnya untuk maju, dan mengalahkan rintangan.

Apakah Kendala dan Rintangan Itu? Kendala atau rintangan adalah hal-hal menakutkan yang kita lihat, dengar, atau bayangkan. Hidup bukan hidup bila tanpa rintangan atau masalah. Pertanyaannya, bagaimana kita menghadapinya agar tetap hidup, tidak sekadar bertahan namun malah melompat jauh dan tinggi. Tentu keterampilan melalui rintangan, atau mengatasi kendala itu tidak serta merta dikuasai oleh setiap orang. Ada yang memang lebih tabah, ada juga yang perlu proses panjang dalam memahami soal ini. Mungkin salah satu cara agar orang bisa lebih tangguh adalah belajar realistis, namun sekaligus gigih. Realistis itu mencakup sikap penerimaan bahwa diri kita tidak kebal dari kesalahan, dan risikonya.

Tetap mengingat dan fokus pada tujuan:
Ketangguhan terkait dengan motivasi diri. Motivasi diri membuat kita fokus pada tujuan, juga dalam menjalani kehidupan ini. Itu.

Kita adalah pengukir karya kita sendiri
Dalam memikul tanggung jawab, meraih cita-cita atau tujuan hidup – orang lain bisa menjadi mitra perjalanan, mentor, Guru, pendukung, atau apa saja. Namun perlu diingat bahwa pada akhirnya diri kita sendiri yang menjalaninya. Maka, diri ini harus dikuatkan dengan keyakinan bahwa kalau bukan diri sendiri yang menjaga api semangat dan membuat langkah tindakan, lalu siapa lagi?

Tujuan hidup dan misinya:
Bila ingin meraih mimpi menjadi nyata, hal pertama yang harus kita lakukan adalah bangun dari mimpi. Hadapi realita, perhitungkan potensi yang mungkin, antisipasi kendala agar kita siap mengatasinya, dan
go!

Selalu bersikap dan bertindak seakan kita mengenakan mahkota tersembunyi – Ibelajar menjadi sang pemenang, bertindak dengan mental juara apapun hasil akhirnya. Ini bukan tentang capaian saja, namun lebih pada pembentukan sikap mental.

Buang pikiran yang mengatakan, “Kamu tidak mampu”, dan genggam pikiran “Aku bisa”. Rasanya poin ini sudah jelas, kan ya? Dengan penanaman konsep di benak bahwa “Aku bisa”, tanpa kita sadari hal ini akan mengarahkan kita pada pemikiran yang berfokus pada hal-hal yang mendorong tindakan menuju pencapaian. Satu tahap, lanjut dengan tahap berikutnya, dan seterusnya sampai garis akhir – pencapaian tujuan.

Kegagalan sebenarnya dapat merupakan batu pijakan menuju keberhasilan.

Siapa yang belum pernah mendengar nama Walt Disney? Ia adalah produser, sutradara dan animator film ternama dari Amerika Serikat, yang berpengaruh di bidang hiburan di abad 20. Sebagai tokoh pendiri Walt Disney Productions, Disney menjadi salah satu produser film paling terkenal di dunia. seorang penerbit film tersohor di dunia. Dia pernah mendapatkan penolakan ribuan kali dari editor koran besar, yang menilai bahwa dia tidak berbakat.

Ada Thomas Alva Edison, Si Penemu listrik yang terus berusaha meskipun sempat gagal 10,000 kali. Juga Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln. Dalam biografinya disebutkan bahwa dia mengalami kegagalan bisnis pada usia 21, lalu kesedihan menimpanya karena kekasihnya meninggal pada usia 26, ditambah lagi dia sempat terkena sindrom kesehatan serius.

Mereka itu adalah contoh-contoh menonjol dari orang-orang yang meraih keberhasilan setelah mengalami perjuangan keras dan mengatasinya dalam ketangguhan mental. Maka banyak mengamati, mempelajari, atau membaca perjalanan hidup orang-orang sukses dan orang “besar” itu perlu sebagai asupan positif yang penting buat otak dan mental kita. Ini salah satu cara untuk mengubah pikiran negatif menjadi sebaliknya.

Kesabaran, ketekunan, keuletan, kerja keras akan menjadi perpaduan tak terkalahkan menuju keberhasilan. Lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang. Jangan menunggu. Tidak akan pernah ada waktu yang tepat. Mulai rencanakan apa yang Anda ingin kerjakan untuk menuju cita-cita, dan langsung mulai lakukan.

Siap nggak siap, realisasikan rencana tindakan ini. Mulai dengan pikiran positif, tindakan nyata, ambil tanggung jawab dengan tulus ikhlas, dan bila kemauan Anda cukup kuat, maka kekuatan diri akan muncul dengan sendirinya. Aku melakukan tindakan nyata, maka aku ada. Yang terakhir ini sebenarnya adalah mengadopsi sebuah ungkapan terkenal oleh filsuf Perancis bernama Descartes, “Cogito ergo sum” – yang artinya "aku berpikir maka aku ada".

Semangat! Nikmati video ini dulu deh. |2017-03-21| @IndriaSalim

*Tulisan ini juga dimaksudkan untuk menyemangati Penulis sendiri. Salam Kompasiana*




Artikel ini adalah arsip kiriman Penulis di Blog Kompasiana Ini

Siapapun Pemimpin Itu, Semoga Amanah


Melihat Ahok di program Kick Andy, MetroTV kemarin (24/03/2017), saya semakin heran kalau demi “asal bukan Ahok” orang tidak mempertimbangkan jomplang-nya (baca: tidak sebanding-nya) mutu pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur DKI Jakarta  nomor urut 2 daripada yang lainnya.

Mutu tidak selalu hanya merujuk pada program, namun pola pikir esensial seorang pemimpin, siapa pun itu.

Pemimpin, diharapkan berpola pikir lebih berbobot daripada orang biasa.
Pemimpin berpandangan jauh ke depan, melihat suatu masalah secara mendalam, memikirkan solusi dengan terobosan yang realistis, namun juga berdampak positif sampai masa panjang berikutnya, bicara dari hati alih-alih polesan wacana artistik dan menggelora meski kosong dari sisi substansi dan kemungkinan realisasinya.
Pemimpin penuh rasa pengabdian, dan itu sudah dibuktikan oleh petahana. Petahana dalam tahap demi tahap, telah menunjukkan hasil dari visi dan misinya membuat DKI Jakarta lebih baik, dalam pilar-pilar kriteria bahwa birokrasi harus melayani, bersih, transparan, dan profesional.

Pemimpin, konsisten dan berani mengambil risiko melawan arus. Bukan demi sebuah singgasana, lalu menafikan kelakuan pengacau tatanan, bahkan bila itu tatanan nilai-nilai spiritual yang harusnya bukan sekadar lafas agamis.

Saya menulis larik “panjang”, karena ini lebih mudah daripada melibatkan diri & terjun dalam aksi kemanusiaan di lapangan. Namun saya warga biasa, bukan paslon yang membuat janji-janji pada pemangku kepentingan (termasuk rakyat), dan dari keringat rakyat itulah asalnya pemimpin digaji dan diamanatkan memikul tanggung jawab penuh tata kelola kenegaraan.

Cukup menarik mendengar pendapat Tompi, musisi dan artis yang ditanya oleh Andy Noya -- host Kick Andy. Tompi mengaku bahwa soal dukung Ahok, itu karena kebetulan dia yang ada di situ. Siapa pun yang akan memimpin Jakarta, sebenarnya standarnya sudah naik. Siapa pun yang memimpin DKI itu nggak masalah. Yang penting itu cara menangnya. “Menanglah dengan bermartabat,” Tompi menandaskan.

Bimbim (Slank) mengungkapkan bahwa sebenarnya Pak Ahok hanya salah satu dari “sejumlah” orang baik dan jujur. Menurut Bimbim, asal ada orang baik, jujur, anti korupsi, bersih – maka dia dan kawan-kawannya akan mendukung. Mau satu jutapun orang baik akan kita dukung. Kita mencari negarwan 1.000 orang. Sampai kini Bimbim dan kawan-kawan melihat hanya sekitar 60-an orang yang masuk kriteria orang baik untuk menjadi pemimpin, termasuk Ahok. Dalam hal ini Bimbim berbicara bukan sebagai musisi yang harus mempertahankan besarnya jumlah fans (
Slankers). Bimbim dkk. mengamati berita, melihat referensi, lalu menetapkan hati mendukung negarawan yang baik, mendorong mereka untuk maju memimpin Indonesia.

Siapa pun pemimpin itu, semoga amanah demi Indonesia lebih baik. Salam Kompasiana.

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 
Tulisan ini sebelumnya Penulis kirim

Tentang Berita Duka


Catatan tertinggal dan masih berlangsung di benakku, khususnya untuk kehidupan dunia maya 2017. Terpantau tanpa harus berniat mengamati, beberapa teman dan kerabat teman fb pergi untuk selamanya karena menghadap Sang Khalik.


Tentang mereka, ada yang pernah berinteraksi langsung, ada yang tidak -- meskipun aku melihat sekilas kegiatan-kegiatannya dari newsfeed.


Sebagian besar kuamati pergi cepat, dan meninggalkan tulisan yang belum lama dikirim sebagai status fb. Ada yang dua minggu, satu sampai dua bulan paling lama sejak mereka mengirimkan tulisan status mereka, lalu tersiar kabar kepergian mereka selamanya di dunia fana dan maya ini.

Terasa banget betapa hidup di bumi ini sungguh sementara, berlaku untuk siapa saja.


Mengerikan bila sampai status terakhir yang tertulis di fb (ya aku bicara tentang kiriman/postingan) di media sosial, meninggalkan jejak gelap bahkan ditulis oleh pribadi itu sendiri, misalnya menulis atau mengirim berita hoax, hal-hal lain yang sifatnya merusak tata nilai kehidupan secara universal, karangan untuk memfitnah pihak lain, cercaan pedas yang bukan untuk memberi masukan konstruktif terhadap orang lain namun semata karena benci, iri, dengki, egoisme tinggi, niat menipu, dan lain-lain.


Sudahlah, banyak hal yang tidak mampu kuungkapkan dalam kata-kata di sini, namun kurasa orang baik seakan banyak yang pergi "lebih cepat". Ah! maksudku kepergian yang terasa terlalu cepat karena kita yang mengenalnya sulit mempercayai betapa orang-orang itu "baru saja" memberi kita inspirasi dan hal bermanfaat lainnya bagi sesama.


Yang tertinggal sebagai pertanyaan besar bagi diri ini, "Apakah aku sekadar nama (sepanjang usia teridentifikasi dari sosial media dan interaksi random tapi nyata) bila ... "


What have I done to contribute to this real small but unfathomable world and life of mine? Nothing from this world will I bring along with me when the Almighty decides “my time”. However, my little faith may wonder whether even either unnoticable kindness or altruism will do. People see what are claimables, but the Creator sees the hearts.


Sang Pencipta Maha Berkehendak, Maha Kuasa, dan Maha Besar khalik langit, bumi dan seisi alam semesta.

*27-03-2017*


Tulisan ini sebelumnya Penulis kirim