Tuesday, November 15, 2016

[Revisi Draft] Bab I – Akhir Pekan

Novel "Keputusan Cinta"

Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun lalu. Akta kelahiranku menyebutkan nama lengkapku Nora Putri Satriawati, lahir di Jakarta Selatan, Indonesia. Aku tinggal bersama keluargaku – Papa Satria Bhakti dan Mama Windria Kesti. Tempat tinggalku sejak lahir sampai kini tidak berubah, terletak di Jalan Bacang, Mayestik, Jakarta. Sampai sekarang pohon belimbing di samping rumah, tepatnya di samping kamarku menjadi saksi betapa aku bahagia tinggal bersama keluargaku di sana. Kubisa bilang kalau keluargaku sungguh hangat, penuh cinta dan kasih sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah hampir segalanya ha ha ha. 

Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti orang dewasa lainnya.

Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.

Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “

Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.

Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.

“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya. 
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.

Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!

Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi. “Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”

Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely, “Buruan, lima menit harus siap di mobil.”

Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal. Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah, kadang malah sedikit sangar. Huh!
Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely. 

“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”

Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku ini kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah begitu deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.

“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih pula,’ batinku.
Sore itu hujan menggericik tak berhenti. Sejak pukul 16.00 wib – petir dan angin kuat menambah dominasi alam, “Hey ini aku Sang Hujan dan kawab-kawan sedang berparade”.
Papa dan Mama sedang ke kondangan rekan bisnis. Hanya ada aku dan Lely. Hujan yang garang menyatukan kami berdua. Petir tak berhenti menggelegar, dhuar dhuar! Biasanya lampu PLN mati karena sengaja dipadamkan dari pusatnya, tapi tidak sore ini. Kami nonton video film terbaru. Nah, hanya saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak sengaja, tapi seringnya kami kompak.

“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.

Milo dingin, kopi dingin, itu kesukaanku memang. Lely tahu menyenangkan hatiku di saat-saat yang tepat. Agar kami tidak saling mengejek dan meledek. Lely tidak suka hujan, Lely tidak suka tempat basah.

Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees puff kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.

Malam harinya, senyap. Ya, senyap. Mama dan papa belum kembali dari kondangan. Oh, hampir lupa, dari kejauhan terdengan suara kodok bersahut-sahutan. Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung! 

Di antara itu suara hewan malam entah apa, “Crek-crek-crek-ecrek ecerk ecerek ecrek!” Kubayangkan itu suara semacam serangga yang hidupnya bergerombol. Suaranya memang antara sayup dan tidak. “Arah angin!” kata Lely menegaskan mengapa suaranya kadang terdengar jelas, kadang menghilang, dan seringnya kedengaran pelan dan konstan.

Lely dan aku tenggelam dalam bacaan masing-masing. Aku membaca “Far from the Madding Crowd”, sedangkan Lely membaca “Pillow Talk”-nya Christian Simamora. Sesekali aku mengumpat kecil, “Buku ini ceritanya kelam banget deh!”

“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”

Usiaku dan Lely selisih dua tahun. Kuingat main pikebo dengannya saat aku berusia 3 tahun. Lely yang matanya lebar dan bulat, dengan tatap penuh ingin tahu. Kulitnya lebih putih daripada aku. Rambutnya lebih kriwil daripada aku. Tangisnya lebih kencang daripada aku. Lely yang tidak takut tidur sendiri di pojok kamar yang lampunya dimatikan. Itu dulu!

Sejak mengenal cerita horor dan misteri, film-film goosebump itu, Lely kadangkala tidak berani ke kamar mandi sendirian, khususnya bila tidak ada siapa-siapa selain aku sendiri. Lely sudah bekerja dan mandiri, di kantornya – kata orang-orang. Di rumah, Lely tetap adik kecilku yang ingin selalu menang, lebih diperhatikan, terus bertanya sampai penjawab lelah atau kewalahan, termasuk mama dan papa.

Rumah kami tidak besar-besar amat. Ini rumah bertingkat dua yang dibangun sebelum aku lahir, kata mama. Di depan ada pagar dan semi pagar hidup – serangkaian semak melati, kembang sepatu, dan pohon bugenvil. Sisi kiri adalah tembok batas dengan tetangga, pun sisi kanan. Tempat parkir ada di sisi kiri dan sisi kanan, cukup menampung tida mobil. Namun seringnya hanya ada dua mobil, mobil papa, dan mobilku sendiri. Parkiran satunya buat mobil tamu atau famili yang kadang mengunjungi kami.

Pohon belimbing! Nah, itu pohonku dan Lely. Pohon tempat khayal kami berdua menyatu dalam sebuah cerita berbeda sudut pandang. Lely punya teman Ratu Peri Kendzie, dan aku mengenal lebih akrab dengan Peri Bunga Belimbing. Hahaa, Pohon Belimbing dengan Ratu Peri Kendzi dan Peri Bunga Belimbing yang usia mereka sebaya dengan usia mama dan kami. Pohon keberadaannya lebih tua dibanding rumah kami, menurut mama.

Ikatan seleraku dengan Lely juga terpaterikan dari kehadiran piano besar warna hitam yang terpajang megah di sudut ruang keluarga. Ruang keluarga sendiri berada setelah ruang tamu yang terdesain di bagian terdepan rumah kami. Ruang depan dan ruang keluarga hanya ditandai dengan satu set perlengkapan audio visual Andre, jadi kalau ada tamu keluarga, ruang geraknya lebih leluasa. 

Kadang aku dan Lely bergantian menyuguhkan permainan piano yang kami sukai. Di ruang tamu kami bisa menyaksikan film-film dari tivi kabel berlangganan, atau video koleksi kami.

Rak buku khusus ada di ruang keluarga. Awalnya hanya ada satu rak buku, dan untuk menampung buku masing-masing, ada rak buku Lely dan buatku sendiri. Itu semua perjalanan literasiku dan Lely kecil.

Koleksi video film itu punya kami berdua, atau tepatnya milik keluarga. Ada ratusan video, yang dibeli papa, mama, atau aku dan Lely. Itu setelah aku punya pendapatan sendiri. Koleksinya lengkap, dari film kartun klasik sampai film laga dan horor. Dari film Princess sampai film paling gress – “Ada Apa dengan Cinta jilid 2”, halah!

Oh ya, Milo dingin bikinan adikku menjadi tradisi kami berdua. Milo bikinan Lely mengingatkan kami pada bubble tea “Hop Hop” di Mall dekat rumah, hahaha. Ada banyak kenangan manis ketika kami mendapatkannya sebagai minuman istimewa. Itu ketika papa baru datang setelah beberapa hari tugas luar kota, dan tidak pernah memberitahu kami kapan hari tepatnya dia akan sampai kembali ke rumah. 

Nah suatu hari ketika aku dan Lely sedang belajar menjelang makan malam, ayah datang seperti tanpa langkah kaki. Kami semua dibuat terkejut olehnya. Dan dia mengangsurkan secangkir besar Hop Hop untuk aku dan Lely, hmmmm

Seperti soal selera buku, pun begitu selera memilih varian Hop Hop. Aku dan Lely punya persamaan sekaligus perbedaan selera. Kadang aku mencontek pesanan Lely, dan sebaliknya. Kadang kita sengaja memilih varian berbeda. Lely memilih coklat susu vanilla, dan aku memilih green tea vanilla yang sebenarnya membuat wajahku menyeringai saat meminumnya. Itu membuat Lely tergelak ngakak tak henti-hentinya. Aku juga. Aduh, baru mengingatnya saja aku sudah ingin ngakak lagi haahaa.

Ah! Mengapa aku jadi melantur ke mana-mana ya. Baiklah aku lanjutkan saja membaca bukunya. Andre sesekali datang ke rumah. Dia kenal Lely, meski sangat jarang mengobrol. cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.

***
Hari Minggu
Adikku tersayang, Aku sebal padamu

Aku terbangun sekitar pukul sembilan pagi, sudah siang untuk sebuah Minggu yang entah kenapa kurasakan aneh. Semua sepi. Semua meninggalkanku entah ke mana. Aku galau. Aku benci suasana ini. Semua kosong. Aku menyesal tidak bangun lebih awal. Ke manakah Lely? Papa dan Mama?

Pelan-pelan ingatanku kembali. Hah? Aku gagal memenuhi janjiku sendiri akan jogging pagi. Aku gagal mengalahkan Lely berlari lebih cepat. Dan sekarang aku seperti anak hilang, tak ada yang menemukan. Tak ada tempat bertanya. Huh.

Lalu kusapu pandangku ke sekeliling ruang. Oh! Aku lega sedikit karena sempat merasa tak mengenali ruangan tempat tidurku sendiri. Sambil mengumpulkan nyawa yang terserak dalam mimpi malam yang aneh, aku mengucek-ngucek mata, satu per satu ingatanku tentang mimpi kembali bermain di kepalaku yang agak pusing. Beginilah rupanya bangun kesiangan. Pengin teriak rasanya, sebal, menyesal, sebal.

Satu hal yang membuatku mendadak sedikit terhibur sekarang, aku akan bertemu Si Ganteng Andre. Sedang apakah dia? Oh, kenapa aku nggak periksa telpon cerdasku? Aku seperti tersengat kalajengking, kulempar selimut sekenanya, ouch! Hampir saja. Telpon kesayangan sudah kududuki sejak aku bangun dari tempat tidur. Panas sekali badanku, atau telponnya yang memang panas karena kududuki?

Ada sederet pesan WA dari Andre, dari Lely, dari mama – Ya ampun tidurku seperti kerbau pingsan! Apa ini karena semalam aku begadang menuntaskan baca novel? Atau karena sprei kasur habis diganti dengan yang baru? Ah aku mencari kambing hitam penyebab bangun kesiangan. Sungguh perlu waktu lama untuk mengubah mood ini. 

Tiba-tiba kuingat waktu kecil dulu, saat aku ketiduran sore hari, aku nangis meraung-raung tidak rela mengapa waktu sore yang indah kulewatkan dengan ketiduran tanpa ada yang membangunkanku.
‘Ah, stop being melancholy, Nora!’ kuhardik diri sendiri.

Kuteguk cepat segelas air putih hangat. Anggap saja ini obat galau. Dengan langkah terseret, kumenuju kamar mandi. ‘Oaah segarnya air hangat ini. Mmmmmmmm aku baik-baik saja!’

Nora membuka kulkas. Penuh makanan dan minuman. Nora membuka almari tempat menyimpan segala makanan kering. Di sana ada bolu panggang, sus kering, pop corn, ah – tiada cemilan tanpa Lely. Lely lagi, Lely lagi. Ya, Lely itu menyebalkan tapi bikin kangen. Nora merasa seperti kanak-kanak lagi, berebut makanan kesukaan walau makanan lain tersedia hanya karena Lely selalu ingin memiliki apa yang menjadi jatah Nora. 

Sepuluh tahun lebih masa itu berlalu, namun saat ini semua berkelebatan kembali di benak Nora. Ada bianglala dalam flashback memori itu, ada kegembiraan polos yang dia rindukan sekarang, ada banyak kenangan yang rasanya tak mungkin kembali menjadi nyata semata karena Nora menyadari, dunia kana-kanak memang bukan dunia dewasa. 

Sesaat kemudian, Nora memilih secangkir kopi hangat untuk membuka paginya yang sudah mendekati siang. Semua serba tidak sesuai dengan masanya. Ya, mungkin itulah hidup kekinian. Semua seperti tidak beraturan dan ketidak beraturan itu menjadi yang beraturan seiring dengan tuntutan masa. ‘Apa pula ini?’
Nora teringat kembali saat menjelang pulang dari kantor Jumat yang lalu. Andre menjemputnya di kantor. Teman-temannya bersuitan dan riuh meledekinya.

“Asyik, asyik ada yang dijemput euy,” begitulah teman-teman Nora yang sedikit mirip Lely yang usil bin nyebelin.

Nora sedikit menerawang, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba ceria dengan menyeruput kopinya yang mulai menghangat, pelan-pelan – menghirup wangi aroma kopinya, merasakan sensasi lembap uapnya menerpa wajahnya. ‘Mmm not bad at all’.

Nah, sekarang dia merasa lapar. Ini tanda baik. Selera makan itu indikasi kalau seseorang dalam keadaan baik dan sempurna. Setidaknya pencernaan dan metabolisme tubuh berfungsi sempurna. Kriyut-kriyuut begitu bunyi perutnya.
Nora sedikit menikmati rintihan perut, anehnya. 
Lalu, ‘Terima kasih, Tuhan, aku sehat dan baik-baik saja’. Hanya dia dan Tuhan, serta perut tipisnya yang saling mendengar. Nora beranjak ke kamarnya, meraih telpun genggamnya, “Ya Sayang, ini aku. .. “.

Seketika semangatnya melonjak ke permukaan. Matahari hangat memanjakan, begitu perasaan Nora sehabis berbicara dengan Andre yang tengah sibuk dengan kegiatannya sendiri. 
***
Bertemu Andre

Saat ini mood Nora sudah berbeda dengan setengah jam yang lalu. Sekarang semua tampak indah dan hangat. Cepat-cepat diteguknya sisa kopi yang sudah hampir dingin. Cewek itu menyapu sekeliling ruang, seakan mencari sesuatu yang dia sendiri tidak begitu yakin yang ada di benak. Semua yang tampak hanya wajah Andre, wajah yang membuatnya tenang dan gembira, sorot mata yang meyakinkannya sebagai cewek yang dicintai dengan istimewa oleh cowok paling istimewa sedunia. Sejenak Nora melupakan Lely dan orang tuanya. Seluruh jiwanya terbawa oleh kegembiraan akan bertemu dengan pujaan hatinya – Si Macho Mucho, begitu panggilan sayangnya khusus untuk Andre.

Ada misscal, juga pesan WA. Telpon genggamnya tertinggal di ruang makan. Nora tenggelam dalam lamunan bahkan saat dia sedang memilih-milih baju di almarinya. Benar-benar melamun sampai ada miscall dan WA nyaris terlewatkan.
Jadi begitu ya? Cewek itu membatin geli dengan mood melankolis dan lamunannya sendiri.


Sebentar lagi Andre akan datang. Mereka berencana mengunjungi Kota Tua, potret-potret di sana, lalu makan siang di restoran Samudra, menikmati angin laut, memandangi kapal Pinisi, ngobrol berdua saja.

Satu keasyikan dinikmati berdua – Nora dan Andre adalah menikmati angin laut, ngobrol tentang buku yang terakhir dibaca, sedikit tentang politik, sedikit tentang pekerjaan, dan sebagian besar tentang hati. Ya, bicara dari hati ke hati!

***
Di beranda rumahnya, Nora dan Andre berbincang tentang pohon anggrek yang mulai menyembulkan kuncup bunganya yang pertama. Andre sangat mempesona menceritakan sejarah anggrek, dan proses berbunga serta cara pemeliharaannya. Di rumah Andre banyak pohon anggrek. Itu yang membuat Nora semakin mengagumi cowok satu ini. 
Semua pohon anggrek di rumah Andre itu hasil ketekunan Andre merawat, membiakkan, menangkarkan, menyilangkan antar jenisnya. ‘Nggak semata wajah ganteng!’

Kadang untuk hal seperti itu, dalam kekaguman yang tak terucapkan – Nora hanya menggumam dan memandangi cowok di depannya, “Wow!”

Dan tahukah itu mengapa? Nora yang biasanya penuh percaya diri, tegas dan cerdas seakan menjadi kelu bila berhadapan dengan Andre. Ini bukan hanya sekali. Nora merasa tak berkutik menghadapi pujaan hatinya. “Speak your mind, please,” Andre membangunkan lamunannya. 

Memang – Nora mengakui dalam hati, perasaannya membuncah setiap kali dia berada hanya dengan Andre. Kadang terbersit di benak Nora, bagaimana kalau masa indah itu berakhir – ‘Oh, No!’

Tapi saat ini pikiran dan hati cewek itu seluruhnya dipenuhi oleh satu nama, Andre, Andre, dan hanya Andre. Rasanya dia akan siap menerima tantangan dan risiko apa pun demi selalu menjadi bagian penting hidup Sang Matahari.

***

“Let’s go!” Andre menepuk pundak Nora pelan.
 “Tapi, tehnya belum dihabiskan,” Nora mencoba membujuk Andre duduk sedikit lebih lama di beranda. Mumpung anggreknya sedang menyembulkan senyum indahnya.

 Andre tersenyum memperlihatkan selarik giginya yang mirip gigi palsu. Putih, deretannya sangat teratur dan rapi, sempurna. Cowok berpostur tegap dan jangkung ini menarik lengan Nora menuju ke pohon anggrek.

“Ini akan memakan waktu seminggu sebelum bunganya merekah,” Andre menjelaskan setengah berbisik. Nora menelengkan wajahnya. Andre sangat menyadari kalau Nora mendengarkannya sungguh-sungguh.

Nora menghayati setiap tatapan cowok ini seakan ingin membekukan keindahan rasa yang meluapkan kekagumannya. ‘Dan itu membuatku semakin cinta,” keluhnya.
***

Matahari beranjak semakin tinggi. Bagi Nora, itu tidak penting seandainya hari ini tidak sedang bersama Sang Matahari. 

‘Aku ingin semua hari seperti saat ini, oh Tuhan,’ Nora menikmati setiap menit dan detik bersama Andre. Itu sudah.

‘Semua menjadi indah, hatiku sangat bahagia – dan itu karena Sang Matahariku.’
Nora tersenyum dengan mata nyaris tanpa kedip, memandangi, mendengarkan, dan mengagumi seseorang di sampingnya. Andre tersenyum lucu. “I love you, too,” Andre memeragakan tangannya mendekap dadanya sendiri, dan mengulurkan kedua telapak tangannya menyatakan cinta.

Cekrek! Cekrek! Lalu puluhan foto selfie memenuhi memori gawai kedua insan bayangan Sang Matahari – di hari Minggu itu.


***

2 comments: