Sunday, November 13, 2016

Bab I -- Akhir Pekan

Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun lalu. Akta kelahiranku menyebutkan kalau aku kelahiran kota Jakarta, ibukota Indonesia. Kubisa bilang kalau keluargaku sungguh hangat, penuh cinta dan kasih sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah hampir segalanya ha ha ha. 


Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti orang dewasa lainnya.

Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.

Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “

Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.

Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.

“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya.
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.

Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!

Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi. “Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”

Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely, “Buruan, lima menit harus siap di mobil.”


Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal. Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah, kadang malah sedikit sangar. Huh!

Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely.

“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”

Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku ini kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah begitu deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.

“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih pula,’ batinku.

Sorenya semua kumpul di rumah. Kami nonton video film terbaru. Nah, hanya saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak sengaja, tapi seringnya kami kompak.

“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.

Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees puff kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.

Malam harinya, kami tenggelam dalam bacaan masing-masing. Aku membaca “Far from the Madding Crowd”, sedangkan Lely membaca “Pillow Talk”-nya Christian Simamora. Sesekali aku mengumpat kecil, “Buku ini ceritanya kelam banget deh!”

“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”

Usiaku dan Lely selisih tiga tahun. Andre, cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.
***

7 comments: