Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun
lalu. Akta kelahiranku menyebutkan kalau aku kelahiran kota Jakarta, ibukota
Indonesia. Kubisa bilang kalau keluargaku sungguh hangat, penuh cinta dan kasih
sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah hampir segalanya ha ha ha.
Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano
pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu
adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku
sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit
Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya
kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti
orang dewasa lainnya.
Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.
Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.
Hari ini weekend.
Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya,
ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “
Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.
Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.
Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan
Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi
itu.
“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya.
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.
Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin
aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel
pakai banget!
Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi.
“Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”
Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat
kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan
teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely, “Buruan,
lima menit harus siap di mobil.”
Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal.
Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau
Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja
mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa
melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah,
kadang malah sedikit sangar. Huh!
Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely.
“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”
“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”
Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak
keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku ini
kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah begitu
deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.
“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih
pula,’ batinku.
Sorenya semua kumpul di rumah. Kami nonton video film
terbaru. Nah, hanya saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak
sengaja, tapi seringnya kami kompak.
“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.
“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.
Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami
tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka
Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi
menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees puff
kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.
“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”
Usiaku dan Lely selisih tiga tahun. Andre, cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.
***
Duh kakak dan adik harus rukun ya.
ReplyDeleteHmm .. nggak seru karena kakak serba sok tahu. :D
DeleteSalam hangat, terima kasih Mbak Nur Rochma.
latar tempatnya kurang terasa :)
ReplyDeleteBaiklah, akan saya tambahkan pakguru. :-) Terima kasih.
ReplyDeleteSdh teelit banget rasanya
ReplyDeleteBetulkah? :-) Terima kasih @Learning journey.
ReplyDeleteIya serasa baca teenlit ��
ReplyDelete