Tuesday, November 15, 2016

[Revisi Draft] Bab I – Akhir Pekan

Novel "Keputusan Cinta"

Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun lalu. Akta kelahiranku menyebutkan nama lengkapku Nora Putri Satriawati, lahir di Jakarta Selatan, Indonesia. Aku tinggal bersama keluargaku – Papa Satria Bhakti dan Mama Windria Kesti. Tempat tinggalku sejak lahir sampai kini tidak berubah, terletak di Jalan Bacang, Mayestik, Jakarta. Sampai sekarang pohon belimbing di samping rumah, tepatnya di samping kamarku menjadi saksi betapa aku bahagia tinggal bersama keluargaku di sana. Kubisa bilang kalau keluargaku sungguh hangat, penuh cinta dan kasih sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah hampir segalanya ha ha ha. 

Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti orang dewasa lainnya.

Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.

Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “

Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.

Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.

“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya. 
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.

Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!

Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi. “Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”

Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely, “Buruan, lima menit harus siap di mobil.”

Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal. Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah, kadang malah sedikit sangar. Huh!
Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely. 

“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”

Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku ini kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah begitu deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.

“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih pula,’ batinku.
Sore itu hujan menggericik tak berhenti. Sejak pukul 16.00 wib – petir dan angin kuat menambah dominasi alam, “Hey ini aku Sang Hujan dan kawab-kawan sedang berparade”.
Papa dan Mama sedang ke kondangan rekan bisnis. Hanya ada aku dan Lely. Hujan yang garang menyatukan kami berdua. Petir tak berhenti menggelegar, dhuar dhuar! Biasanya lampu PLN mati karena sengaja dipadamkan dari pusatnya, tapi tidak sore ini. Kami nonton video film terbaru. Nah, hanya saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak sengaja, tapi seringnya kami kompak.

“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.

Milo dingin, kopi dingin, itu kesukaanku memang. Lely tahu menyenangkan hatiku di saat-saat yang tepat. Agar kami tidak saling mengejek dan meledek. Lely tidak suka hujan, Lely tidak suka tempat basah.

Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees puff kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.

Malam harinya, senyap. Ya, senyap. Mama dan papa belum kembali dari kondangan. Oh, hampir lupa, dari kejauhan terdengan suara kodok bersahut-sahutan. Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung! 

Di antara itu suara hewan malam entah apa, “Crek-crek-crek-ecrek ecerk ecerek ecrek!” Kubayangkan itu suara semacam serangga yang hidupnya bergerombol. Suaranya memang antara sayup dan tidak. “Arah angin!” kata Lely menegaskan mengapa suaranya kadang terdengar jelas, kadang menghilang, dan seringnya kedengaran pelan dan konstan.

Lely dan aku tenggelam dalam bacaan masing-masing. Aku membaca “Far from the Madding Crowd”, sedangkan Lely membaca “Pillow Talk”-nya Christian Simamora. Sesekali aku mengumpat kecil, “Buku ini ceritanya kelam banget deh!”

“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”

Usiaku dan Lely selisih dua tahun. Kuingat main pikebo dengannya saat aku berusia 3 tahun. Lely yang matanya lebar dan bulat, dengan tatap penuh ingin tahu. Kulitnya lebih putih daripada aku. Rambutnya lebih kriwil daripada aku. Tangisnya lebih kencang daripada aku. Lely yang tidak takut tidur sendiri di pojok kamar yang lampunya dimatikan. Itu dulu!

Sejak mengenal cerita horor dan misteri, film-film goosebump itu, Lely kadangkala tidak berani ke kamar mandi sendirian, khususnya bila tidak ada siapa-siapa selain aku sendiri. Lely sudah bekerja dan mandiri, di kantornya – kata orang-orang. Di rumah, Lely tetap adik kecilku yang ingin selalu menang, lebih diperhatikan, terus bertanya sampai penjawab lelah atau kewalahan, termasuk mama dan papa.

Rumah kami tidak besar-besar amat. Ini rumah bertingkat dua yang dibangun sebelum aku lahir, kata mama. Di depan ada pagar dan semi pagar hidup – serangkaian semak melati, kembang sepatu, dan pohon bugenvil. Sisi kiri adalah tembok batas dengan tetangga, pun sisi kanan. Tempat parkir ada di sisi kiri dan sisi kanan, cukup menampung tida mobil. Namun seringnya hanya ada dua mobil, mobil papa, dan mobilku sendiri. Parkiran satunya buat mobil tamu atau famili yang kadang mengunjungi kami.

Pohon belimbing! Nah, itu pohonku dan Lely. Pohon tempat khayal kami berdua menyatu dalam sebuah cerita berbeda sudut pandang. Lely punya teman Ratu Peri Kendzie, dan aku mengenal lebih akrab dengan Peri Bunga Belimbing. Hahaa, Pohon Belimbing dengan Ratu Peri Kendzi dan Peri Bunga Belimbing yang usia mereka sebaya dengan usia mama dan kami. Pohon keberadaannya lebih tua dibanding rumah kami, menurut mama.

Ikatan seleraku dengan Lely juga terpaterikan dari kehadiran piano besar warna hitam yang terpajang megah di sudut ruang keluarga. Ruang keluarga sendiri berada setelah ruang tamu yang terdesain di bagian terdepan rumah kami. Ruang depan dan ruang keluarga hanya ditandai dengan satu set perlengkapan audio visual Andre, jadi kalau ada tamu keluarga, ruang geraknya lebih leluasa. 

Kadang aku dan Lely bergantian menyuguhkan permainan piano yang kami sukai. Di ruang tamu kami bisa menyaksikan film-film dari tivi kabel berlangganan, atau video koleksi kami.

Rak buku khusus ada di ruang keluarga. Awalnya hanya ada satu rak buku, dan untuk menampung buku masing-masing, ada rak buku Lely dan buatku sendiri. Itu semua perjalanan literasiku dan Lely kecil.

Koleksi video film itu punya kami berdua, atau tepatnya milik keluarga. Ada ratusan video, yang dibeli papa, mama, atau aku dan Lely. Itu setelah aku punya pendapatan sendiri. Koleksinya lengkap, dari film kartun klasik sampai film laga dan horor. Dari film Princess sampai film paling gress – “Ada Apa dengan Cinta jilid 2”, halah!

Oh ya, Milo dingin bikinan adikku menjadi tradisi kami berdua. Milo bikinan Lely mengingatkan kami pada bubble tea “Hop Hop” di Mall dekat rumah, hahaha. Ada banyak kenangan manis ketika kami mendapatkannya sebagai minuman istimewa. Itu ketika papa baru datang setelah beberapa hari tugas luar kota, dan tidak pernah memberitahu kami kapan hari tepatnya dia akan sampai kembali ke rumah. 

Nah suatu hari ketika aku dan Lely sedang belajar menjelang makan malam, ayah datang seperti tanpa langkah kaki. Kami semua dibuat terkejut olehnya. Dan dia mengangsurkan secangkir besar Hop Hop untuk aku dan Lely, hmmmm

Seperti soal selera buku, pun begitu selera memilih varian Hop Hop. Aku dan Lely punya persamaan sekaligus perbedaan selera. Kadang aku mencontek pesanan Lely, dan sebaliknya. Kadang kita sengaja memilih varian berbeda. Lely memilih coklat susu vanilla, dan aku memilih green tea vanilla yang sebenarnya membuat wajahku menyeringai saat meminumnya. Itu membuat Lely tergelak ngakak tak henti-hentinya. Aku juga. Aduh, baru mengingatnya saja aku sudah ingin ngakak lagi haahaa.

Ah! Mengapa aku jadi melantur ke mana-mana ya. Baiklah aku lanjutkan saja membaca bukunya. Andre sesekali datang ke rumah. Dia kenal Lely, meski sangat jarang mengobrol. cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.

***
Hari Minggu
Adikku tersayang, Aku sebal padamu

Aku terbangun sekitar pukul sembilan pagi, sudah siang untuk sebuah Minggu yang entah kenapa kurasakan aneh. Semua sepi. Semua meninggalkanku entah ke mana. Aku galau. Aku benci suasana ini. Semua kosong. Aku menyesal tidak bangun lebih awal. Ke manakah Lely? Papa dan Mama?

Pelan-pelan ingatanku kembali. Hah? Aku gagal memenuhi janjiku sendiri akan jogging pagi. Aku gagal mengalahkan Lely berlari lebih cepat. Dan sekarang aku seperti anak hilang, tak ada yang menemukan. Tak ada tempat bertanya. Huh.

Lalu kusapu pandangku ke sekeliling ruang. Oh! Aku lega sedikit karena sempat merasa tak mengenali ruangan tempat tidurku sendiri. Sambil mengumpulkan nyawa yang terserak dalam mimpi malam yang aneh, aku mengucek-ngucek mata, satu per satu ingatanku tentang mimpi kembali bermain di kepalaku yang agak pusing. Beginilah rupanya bangun kesiangan. Pengin teriak rasanya, sebal, menyesal, sebal.

Satu hal yang membuatku mendadak sedikit terhibur sekarang, aku akan bertemu Si Ganteng Andre. Sedang apakah dia? Oh, kenapa aku nggak periksa telpon cerdasku? Aku seperti tersengat kalajengking, kulempar selimut sekenanya, ouch! Hampir saja. Telpon kesayangan sudah kududuki sejak aku bangun dari tempat tidur. Panas sekali badanku, atau telponnya yang memang panas karena kududuki?

Ada sederet pesan WA dari Andre, dari Lely, dari mama – Ya ampun tidurku seperti kerbau pingsan! Apa ini karena semalam aku begadang menuntaskan baca novel? Atau karena sprei kasur habis diganti dengan yang baru? Ah aku mencari kambing hitam penyebab bangun kesiangan. Sungguh perlu waktu lama untuk mengubah mood ini. 

Tiba-tiba kuingat waktu kecil dulu, saat aku ketiduran sore hari, aku nangis meraung-raung tidak rela mengapa waktu sore yang indah kulewatkan dengan ketiduran tanpa ada yang membangunkanku.
‘Ah, stop being melancholy, Nora!’ kuhardik diri sendiri.

Kuteguk cepat segelas air putih hangat. Anggap saja ini obat galau. Dengan langkah terseret, kumenuju kamar mandi. ‘Oaah segarnya air hangat ini. Mmmmmmmm aku baik-baik saja!’

Nora membuka kulkas. Penuh makanan dan minuman. Nora membuka almari tempat menyimpan segala makanan kering. Di sana ada bolu panggang, sus kering, pop corn, ah – tiada cemilan tanpa Lely. Lely lagi, Lely lagi. Ya, Lely itu menyebalkan tapi bikin kangen. Nora merasa seperti kanak-kanak lagi, berebut makanan kesukaan walau makanan lain tersedia hanya karena Lely selalu ingin memiliki apa yang menjadi jatah Nora. 

Sepuluh tahun lebih masa itu berlalu, namun saat ini semua berkelebatan kembali di benak Nora. Ada bianglala dalam flashback memori itu, ada kegembiraan polos yang dia rindukan sekarang, ada banyak kenangan yang rasanya tak mungkin kembali menjadi nyata semata karena Nora menyadari, dunia kana-kanak memang bukan dunia dewasa. 

Sesaat kemudian, Nora memilih secangkir kopi hangat untuk membuka paginya yang sudah mendekati siang. Semua serba tidak sesuai dengan masanya. Ya, mungkin itulah hidup kekinian. Semua seperti tidak beraturan dan ketidak beraturan itu menjadi yang beraturan seiring dengan tuntutan masa. ‘Apa pula ini?’
Nora teringat kembali saat menjelang pulang dari kantor Jumat yang lalu. Andre menjemputnya di kantor. Teman-temannya bersuitan dan riuh meledekinya.

“Asyik, asyik ada yang dijemput euy,” begitulah teman-teman Nora yang sedikit mirip Lely yang usil bin nyebelin.

Nora sedikit menerawang, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba ceria dengan menyeruput kopinya yang mulai menghangat, pelan-pelan – menghirup wangi aroma kopinya, merasakan sensasi lembap uapnya menerpa wajahnya. ‘Mmm not bad at all’.

Nah, sekarang dia merasa lapar. Ini tanda baik. Selera makan itu indikasi kalau seseorang dalam keadaan baik dan sempurna. Setidaknya pencernaan dan metabolisme tubuh berfungsi sempurna. Kriyut-kriyuut begitu bunyi perutnya.
Nora sedikit menikmati rintihan perut, anehnya. 
Lalu, ‘Terima kasih, Tuhan, aku sehat dan baik-baik saja’. Hanya dia dan Tuhan, serta perut tipisnya yang saling mendengar. Nora beranjak ke kamarnya, meraih telpun genggamnya, “Ya Sayang, ini aku. .. “.

Seketika semangatnya melonjak ke permukaan. Matahari hangat memanjakan, begitu perasaan Nora sehabis berbicara dengan Andre yang tengah sibuk dengan kegiatannya sendiri. 
***
Bertemu Andre

Saat ini mood Nora sudah berbeda dengan setengah jam yang lalu. Sekarang semua tampak indah dan hangat. Cepat-cepat diteguknya sisa kopi yang sudah hampir dingin. Cewek itu menyapu sekeliling ruang, seakan mencari sesuatu yang dia sendiri tidak begitu yakin yang ada di benak. Semua yang tampak hanya wajah Andre, wajah yang membuatnya tenang dan gembira, sorot mata yang meyakinkannya sebagai cewek yang dicintai dengan istimewa oleh cowok paling istimewa sedunia. Sejenak Nora melupakan Lely dan orang tuanya. Seluruh jiwanya terbawa oleh kegembiraan akan bertemu dengan pujaan hatinya – Si Macho Mucho, begitu panggilan sayangnya khusus untuk Andre.

Ada misscal, juga pesan WA. Telpon genggamnya tertinggal di ruang makan. Nora tenggelam dalam lamunan bahkan saat dia sedang memilih-milih baju di almarinya. Benar-benar melamun sampai ada miscall dan WA nyaris terlewatkan.
Jadi begitu ya? Cewek itu membatin geli dengan mood melankolis dan lamunannya sendiri.


Sebentar lagi Andre akan datang. Mereka berencana mengunjungi Kota Tua, potret-potret di sana, lalu makan siang di restoran Samudra, menikmati angin laut, memandangi kapal Pinisi, ngobrol berdua saja.

Satu keasyikan dinikmati berdua – Nora dan Andre adalah menikmati angin laut, ngobrol tentang buku yang terakhir dibaca, sedikit tentang politik, sedikit tentang pekerjaan, dan sebagian besar tentang hati. Ya, bicara dari hati ke hati!

***
Di beranda rumahnya, Nora dan Andre berbincang tentang pohon anggrek yang mulai menyembulkan kuncup bunganya yang pertama. Andre sangat mempesona menceritakan sejarah anggrek, dan proses berbunga serta cara pemeliharaannya. Di rumah Andre banyak pohon anggrek. Itu yang membuat Nora semakin mengagumi cowok satu ini. 
Semua pohon anggrek di rumah Andre itu hasil ketekunan Andre merawat, membiakkan, menangkarkan, menyilangkan antar jenisnya. ‘Nggak semata wajah ganteng!’

Kadang untuk hal seperti itu, dalam kekaguman yang tak terucapkan – Nora hanya menggumam dan memandangi cowok di depannya, “Wow!”

Dan tahukah itu mengapa? Nora yang biasanya penuh percaya diri, tegas dan cerdas seakan menjadi kelu bila berhadapan dengan Andre. Ini bukan hanya sekali. Nora merasa tak berkutik menghadapi pujaan hatinya. “Speak your mind, please,” Andre membangunkan lamunannya. 

Memang – Nora mengakui dalam hati, perasaannya membuncah setiap kali dia berada hanya dengan Andre. Kadang terbersit di benak Nora, bagaimana kalau masa indah itu berakhir – ‘Oh, No!’

Tapi saat ini pikiran dan hati cewek itu seluruhnya dipenuhi oleh satu nama, Andre, Andre, dan hanya Andre. Rasanya dia akan siap menerima tantangan dan risiko apa pun demi selalu menjadi bagian penting hidup Sang Matahari.

***

“Let’s go!” Andre menepuk pundak Nora pelan.
 “Tapi, tehnya belum dihabiskan,” Nora mencoba membujuk Andre duduk sedikit lebih lama di beranda. Mumpung anggreknya sedang menyembulkan senyum indahnya.

 Andre tersenyum memperlihatkan selarik giginya yang mirip gigi palsu. Putih, deretannya sangat teratur dan rapi, sempurna. Cowok berpostur tegap dan jangkung ini menarik lengan Nora menuju ke pohon anggrek.

“Ini akan memakan waktu seminggu sebelum bunganya merekah,” Andre menjelaskan setengah berbisik. Nora menelengkan wajahnya. Andre sangat menyadari kalau Nora mendengarkannya sungguh-sungguh.

Nora menghayati setiap tatapan cowok ini seakan ingin membekukan keindahan rasa yang meluapkan kekagumannya. ‘Dan itu membuatku semakin cinta,” keluhnya.
***

Matahari beranjak semakin tinggi. Bagi Nora, itu tidak penting seandainya hari ini tidak sedang bersama Sang Matahari. 

‘Aku ingin semua hari seperti saat ini, oh Tuhan,’ Nora menikmati setiap menit dan detik bersama Andre. Itu sudah.

‘Semua menjadi indah, hatiku sangat bahagia – dan itu karena Sang Matahariku.’
Nora tersenyum dengan mata nyaris tanpa kedip, memandangi, mendengarkan, dan mengagumi seseorang di sampingnya. Andre tersenyum lucu. “I love you, too,” Andre memeragakan tangannya mendekap dadanya sendiri, dan mengulurkan kedua telapak tangannya menyatakan cinta.

Cekrek! Cekrek! Lalu puluhan foto selfie memenuhi memori gawai kedua insan bayangan Sang Matahari – di hari Minggu itu.


***

Sunday, November 13, 2016

Bab I -- Akhir Pekan

Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun lalu. Akta kelahiranku menyebutkan kalau aku kelahiran kota Jakarta, ibukota Indonesia. Kubisa bilang kalau keluargaku sungguh hangat, penuh cinta dan kasih sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah hampir segalanya ha ha ha. 


Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti orang dewasa lainnya.

Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.

Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “

Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.

Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.

“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya.
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.

Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!

Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi. “Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”

Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely, “Buruan, lima menit harus siap di mobil.”


Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal. Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah, kadang malah sedikit sangar. Huh!

Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely.

“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”

Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku ini kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah begitu deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.

“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih pula,’ batinku.

Sorenya semua kumpul di rumah. Kami nonton video film terbaru. Nah, hanya saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak sengaja, tapi seringnya kami kompak.

“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.

Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees puff kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.

Malam harinya, kami tenggelam dalam bacaan masing-masing. Aku membaca “Far from the Madding Crowd”, sedangkan Lely membaca “Pillow Talk”-nya Christian Simamora. Sesekali aku mengumpat kecil, “Buku ini ceritanya kelam banget deh!”

“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”

Usiaku dan Lely selisih tiga tahun. Andre, cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.
***

Saturday, November 12, 2016

Bedah Karya Tiga Buku – Bab I

Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada Bang Benny Rhamdani, yang di sekolah tanpa tembok BlogToBook memacu saya sebagai salah satu peserta, untuk berdisiplin dan sistematis mengerjakan tugas demi tugas yang diberikannya. Saya sungguh beruntung!
Baiklah, ini tugas hari ke-4 yang terlambat saya kerjakan, dan saya menyesali keterlambatannya.
Langsung saja, saya memilih tiga (3) judul buku dengan genre berbeda, kecuali satu yang sama dengan genre naskah yang saya tulis – novel roman.

Buku 1, sebuah novel berjudul “Ziarah” (Penerbit - Djambatan)  
Genre: Sastra modern bernuansa filsafat dan kejiwaan.   


Bab I novel ini dibuka dengan situasi tanpa basa-basi, yang memberikan petunjuk sekaligus teka-teki pada pembaca. Kalimatnya sangat efektif, padat, sarat makna, dan melukiskan perspektif langka. Walau begitu, bab ini membawa pembaca pada keindahan yang rumit, absurd, dan misterius tentang kehidupan sang tokoh. Sebuah kisah yang menghidupkan karakter tanpa nama, yang berjuang menjaga nyala api cinta dalam caranya sendiri.

Ya, semua karakternya hanya disebut sebagai sosok dengan fungsi atau posisi dalam masyarakat, yaitu – pelukis; isteri pelukis; walikota; dan opseter penjaga kuburan. Inilah kekuatan kisah bab I novel “Ziarah”, seakan menembus batas imajinasi dan rangkaian kata-kata serta penalaran yang mungkin.

Saya ingin meresapi lebih dalam lagi, dan bisa menaklukkan gunung filosofi dan percakapan batin yang menyimpan rahasia keindahan novel ini.


Buku 2, sebuah novel berjudul “Dilan – Dia Adalah Dilanku Tahun 1990”
(Penerbit - Mizan Pustaka, edisi revisi)
Genre: Novel Roman.  


Bab I berjudul “Aku”

Isinya seakan hanya sebuah perkenalan yang dilakukan tokoh utama bernama Milea Adnan Hussain. Milea memperkenalkan kepada pembaca tidak hanya tentang dirinya sendiri, namun juga beberapa nama yang dia sebutkan, termasuk SMA-nya yang dikatakan sebagai sekolah paling romantis se-Asia.

Saya menyadari, menulis dalam bahasa dan gagasan yang (tampak) sederhana itu sungguh tidak sederhana. Sederhana itu sempurna, menurut saya.

Inilah keunggulan bab I yang berhasil menyerukan pada pembaca bahwa sederhana itu memesona, dan memikat perhatian pembaca untuk terus membalik halaman berikutnya.

Rasanya saya akan mencari tahu apa rahasia penulisnya sehingga berani memilih sebuah perkenalan dalam arti harafiah, sebagai awal bab novelnya. Ini "mencurigakan". Nah, kecurigaan pembaca inilah yang berhasil diciptakan penulis “Dilan” dengan piawai. Bravo.

Buku 3, sebuah novel berjudul “Amarah” – Jilid Satu, karangan John Steinbeck
(Penerbit – Yayasan Obor Indonesia)
Genre: Novel Klasik, memotret masalah sosial.  



Bab I memberikan gambaran sangat jelas tentang situasi kemelaratan dan penderitaan orang-orang yang dikisahkan. Bagian ini narasinya didominasi oleh visualisasi empat dimensi, yang secara mengejutkan justru mengajak pembaca turut merasakan kesengsaraan, dan perjuangan karakter yang disebut dalam kategori --  laki-laki dan perempuan, serta anak-anak.

Ekspresi internal orang-orangnya, juga dinamika kegiatan mereka menyatu dalam visualisasi alam; rumah; jalanan; pepohonan; tanah; debu jalan; kerak hujan.

Maka pembaca seperti saya seakan langsung merasakan kedalaman batin, reaksi interaktif antar karakter, dan keterhubungannya dengan situasi fisik yang menjadi latar belakan (setting) bab I ini, atau mungkin novel ini. Asumsinya, saya baru membaca sampai Bab I saja.
Bab I ini luar biasa, karena  memberikan contoh nyata efek deskripsi yang bukan sekadar serangkaian kalimat atau lukisan fisik tanpa tujuan. Sebenarnya, ini bukan deskripsi namun justru kisahnya sendiri.

Demikianlah pendapat saya tentang Bab I dari masing-masing buku yang judulnya tersebut di atas. Salam dan terima kasih atas saran dan kritikan Anda, kalau ada.

#BlogToBook
#ApresiasiBabSatu
#KutipanBuku_BabSatu

Quote:
Pada saat-saat seperti ini, seluruh isi dadanya menyisih bagi hanya satu perasaan, yakni: harapan. (Ziarah, Iwan Simatupang)

Thursday, November 10, 2016

Tujuan, Motif, dan Pesan Cerita Dalam Novel “Keputusan Cinta”

Yang terjadi ...
Sebenarnya sampai tahap ini aku mengalami konflik batin sendiri. Lha lucu juga, padahal harusnya aku menjabarkan konfilk yang bisa menghidupkan karakter cerita lebih berkesan. Konflik lebih dipertajam, dibuat kusut, lebih dibuat fokus. Ini akibat kecenderunganku menjadi impulsif. Apa yang dibenak, itu yang ingin kurealisasikan. Tentu ini untuk hal yang sifatnya positif, ya.

Aku sudah punya tiga karakter yang mendesakku menjadikan mereka kisah utuh dalam novel yang kuharapkan menjadi “impian terwujud nyata”. Mereka adalah kakak beradik Nora dan Lely, dan satu cowok bernama Andre. Mereka kebetulan karakter-karakter keren. Lebih mudah menceritakan kehebatan mereka, sampai-sampai aku lupa kalau mereka karakter yang pernah mengalami trauma masa lalu, punya titik lemah dalam kehidupan maupun kepribadian mereka. So what?

Tentang Nora
Kucoba mendengarkan penuturan si Nora, deh. Dia itu ternyata ingin meyakinkan diri kalau Andre memang belahan jiwanya. Duh itu peran terbesar dalam kehidupan seseorang, hayo ngaku siapa yang nggak setuju? Jadi jelas sudah, Nora ingin dalam satu titik momen yang tepat, membuat keputusan, “Yes, I do.” Dan itu yang ingin dilakukan Nora untuk orang yang sangat tepat, paling tepat, yang terbaik untuk dirinya. Ok?

Dia sangat ingin bersama Andre sekali dan selamanya. Sederhana? Kedengarannya secara teori begitu. Praktiknya? Duh, banyak nanya deh. Aku bingung nih jawabnya dari mana. Ikuti saja dulu alur ceritanya kelak kalau Nora sudah mengungkapkan kisahnya secara utuh.


Bagaimana dengan Lely, adik Nora?
Nah, ini seru karena sejak balita Lely ingin selalu bisa mengalahkan Nora. Dia ingin menjadi sosok yang lebih cerdas, lebih cantik, lebih disayang orang tua dan teman-teman. Eits, tunggu! Lely punya teman-teman sendiri, yang belum tentu teman-temannya Nora. Lha iyalah. Tapi memang pernah ada orang naksir Nora, Lely cuek. Akhirnya cowok itu malah beralih perhatiannya ke Lely karena entah bagaimana mereka dipertemukan, dan sering pula. Gitu lho.

Lely ingin membuktikan bahwa meskipun dia terlahir belakangan, lebih muda usianya dibanding kakak, namun dia memang gadis hebat luar dalam. Lha mana bisa kita mengintervensi obsesinya itu, bro dan sis. Biarin saja deh, itulah pergulatan hidup seseorang yang terlahir sebagai anak kedua. Meski begitu, dia tetap sayang sama kakak, lho. Hanya dalam keseharian ada saja yang membuat Lely nggak percaya diri secara internal, ya itu bawaan orok soal ingin menjadi yang terbaik dalam keluarga dan lingkungannya.

Lely pernah meraung-raung di depan Mama dan kakak, karena nilainya rapornya di sekolah kurang satu poin. Itu membuat Lely terpuruk merasa dilupakan orang-orang sekelilingnya. Semua menyalami kakak, memuji kakak atas kejuaraannya di sekolah sebagai siswa terbaik di sekolah. Lely kecil ingin menebus kekalahan itu, yang ternyata secara tidak sadar terbawa sampai kakak beradik Nora-Lely beranjak dewasa. Kebayang kan, yang namanya obsesi yang tertanam bertahun-tahun sehingga menjadi semacam tujuan hidup? Duh.


Andre si Gemini
Andre punya banyak hal yang membuat dia punya banyak “pandangan” dalam memilih cewek idaman. Nyatanya? Hidup tidak segamblang melihat air hujan jatuh di atas selembar daun! Lebay? Ya memang begitu, mau ngomong gimana lagi. Itu sebabnya Andre ingin menjadikan Nora sebagai seseorang yang teristimewa dalam hidupnya. Tantangannya tidak mudah. Kepo? Tunggu saja kisah selanjutnya.

Kehidupan yang lumayan kering di lingkungan keluarganya, orang tuanya yang tampak kurang mesra satu sama lain, meskipun mereka bisa disebut keluarga yang utuh dari masa ke masa, membuat Andre ingin mengubah pengalaman ini dengan memilih Nora yang dicintainya. Dia bayangkan Nora bukan seperti mama-nya yang sulit mengungkapkan bentuk kasih sayang pada keluarga – papa dan dirinya sendiri.


Begitulah sejauh ini yang kuketahui tentang Nora, Lely, dan Andre. Tampaknya kisah ini akan mengungkapkan rona dan warna, pernik dan mozaik tentang persaingan kakak beradik, dan juga perjuangan seorang insan mendapatkan dan menentukan titik balik kehidupannya dalam cinta yang dipilihnya. | @Indria Salim -- 11 November 2016

#blogtobook

Wednesday, November 9, 2016

Tiga Karakter Utama Dalam Naskah Novel "Keputusan Cinta"

Nora (26 tahun)
Photo Source: IG - @mariaharfanti

Nora seorang manajer customer service di sebuah bank swasta nasional ternama. Ia seksi, cerdas, berselera tinggi dalam banyak hal, disukai banyak teman tapi lumayan kurang percaya diri, sensitif tapi suka iseng dan berselera humor tinggi, dan celakanya pengecut dalam hal yang menyangkut hubungan pribadi dengan pria.

Nora berzodiak Capicorn (kelahiran bulan Januari), lembut tapi sekali terluka agak sulit memaafkan. Gadis ini berkulit lebih terang dari sawo matang, tinggi semampai – dengan berat badan 55 kg – tinggi badan 171 cm. Suka membaca buku filsafat, psikologi populer, buku motivasi, senang musik klasik, jazz, dan new age. Nora selektif tentang makanan, tidak suka keriuhan tapi pekerjaannya justru menuntutnya untuk tampil sebagai bagian dari kehidupan penuh sosialisasi.

Nora yang multitalenta ini mengaku selalu senang menjalankan pekerjaannya. Hal itulah yang membuat Nora tak pernah merasakan kesulitan saat bekerja sama dengan banyak pihak secara sosial maupun profesional. Ada karakter kepemimpinan dalam diri Nora, meskipun dia kadang lebih suka tidak menonjolkan diri. Kadang karakternya yang berkarisma disalahpahami sebagai bentuk karakter "galak".

Ayah dan ibu Nora membanggakan gadis ini karena selain sebagai anak sulung yang sempurna di mata mereka, Nora punya banyak bakat yang membuat orang tua sempat bingung bagaimana mengarahkan Nora agar fokus ke bidang tertentu dalam pengembangan dirinya waktu kecil dulu.

Nora bukan gadis yang mudah menangis. Namun dia paling penakut dengan hal remeh temeh, serangga, kucing, ikan, darah, dan ruang gelap.


Lely (23 tahun)
Photo Source: IG - @prillylatuconsina69
 
Lely adik semata wayang Nora, kelahiran 8 Agustus 23 tahun lalu. Ia tak kalah pintarnya dengan sang kakak, imut tapi feminin dan tampak dinamis. Dia sangat modis tapi tidak gila merek (brand-minded), periang, cuek tapi gampang akrab dengan orang, nggak takut membina hubungan baru dengan pria yang membuatnya terkesan, lebih terbuka dalam berbagi privasi kepada teman-temannya, namun ingin hidup mapan dalam semua hal, termasuk mendapatkan pria mapan dengan kesetiaan tak terbantahkan. Lely baru saja lulus dan mulai bekerja sebagai PR di sebuah organisasi LSM internasional.
Karier yang baru dirintis Lely tampak menjanjikan. Ia semakin diakui kemampuannya di tempat kerjanya, juga diperhitungkan oleh atasan dan petinggi organisasi. Jejaring pergaulan dan profesional Lely luas dan lintas elemen.

Popularitas Lely membuat kekaguman bagi yang menyukai pribadi dan kemampuan kerjanya, sekaligus rasa iri bagi yang tidak menyukainya.
Lely tidak terlalu peduli dengan suara negatif di luar dirinya. Menurutnya, ia menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri, dan berguna bagi sekelilingnya. Walau begitu, dia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Nora, kakaknya sendiri yang dia anggap serba lebih unggul darinya.
Itu sebabnya Lely suka mendebat dan sengaja tidak mau terlalu kompak dengan apa yang dilakukan kakaknya. Baginya, seluruh perhatian sudah tersedot oleh kesempurnaan kakaknya. Lucunya dia melihat juga sisi kelemahan kakaknya yang kadang dirasa “cengeng.”
Lely, gadis petualang dalam arti sebenarnya. Dia suka olahraga lari, bersepeda, mengunjungi situs budaya dan alam terbuka, khususnya pegunungan dan laut. Itu sebabnya Lely bertubuh “sekel” walau tampilannya lebih mungil dibanding Nora. Lely lebih putih dibanding Nora.

Orang lain melihat Lely itu kontroversial, bila dikaitkan dengan hubungan kakak-adik dengan Nora. Dia tampak suka melawan Nora, tapi kalau ada yang kurang suka sama Nora, dia spontan membela. Soal makanan kesukaan, Lely lebih selektif. Banyak yang disukai Lely pasti disukai oleh Nora, namun tidak sebaliknya. Aneh juga kalau Lely suka bertualang, namun selera makan tidak variatif, atau lebih selektif. Ya begitulah Lely. Di luar itu, selera membaca buku sama persis dengan Nora. Lely suka memanjangkan rambutnya, walaupun kata banyak orang, dia lebih baik berambut agak pendek.

Lely gadis kuat, dia tidak mudah mengeluh kalau itu soal fisik. Dia bisa diam saja meskipun kepalanya sedang pusing, misalnya. Ini perbedaan dia dengan Nora, kakaknya. Gadis berzodiac Leo ini suka bermanja-manja dengan Mama.


Andre (26)
Photo Source: IG - @arifinputra

Andre cerdas, memikat para cewek. Cowok berpostur jangkung – 180 cm, berat badan 67 kg, tubuh khas model atlit, karena dia suka nge-gym. Andre yang berambut tebal dan lurus, terkesan sebagai cowok cuek, tapi bagi yang mengenalnya – dia itu orangnya perhatian. Andre sulit diduga, dan ini yang bikin cewek-cewek penasaran, termasuk Nora. 

Andre suka membaca, wawasan Andre luas dan membuatnya disayang atasan di kantor. Suka musik klasik, jazz, dan main gitar. Orang tuanya terlalu sibuk dan tidak terlalu hangat hubungannya satu sama lain. Ini membentuk kepribadian keras bagi Andre. Banyak orang menyalah artikan Andre sebagai cowok sombong, padahal dia seorang cowok Gemini yang punya penilaian bebas tentang sesuatu di sekitarnya, bercita rasa seni dan humor yang tinggi, dan kecerdasan di atas rata-rata.

Andre punya selera makan tinggi. “Paling suka dengan masakan Mama,” katanya. Mama memang pandai memasak persis sesuai selera anaknya. Andre punya satu adik, seperti Nora yang juga punya satu adik perempuan. Andre suka nge-gym tapi menghindari panas matahari. Meskipun begitu dia tak segan melakukan olah raga ekstrim, panjat tebing. Lho aneh ya. Katanya, “panas matahari di saat pengin santai itu menyebalkan, tapi panjat tebing lain lagi sensasinya.”



Tuesday, November 8, 2016

“Keputusan Cinta" -- Sinopsis Awal (Opsi Tema 1)


Kisah sepasang adik kakak yang selalu bersaing dan hidup dalam hubungan anjing dan kucing.

Sang kakak (Nora, 27 tahun) adalah seorang manajer customer service di sebuah bank swasta nasional ternama. Ia seksi, cerdas, berselera tinggi dalam banyak hal, disukai banyak teman tapi lumayan kurang percaya diri, sensitif tapi suka iseng dan berselera humor tinggi, dan celakanya pengecut dalam hal yang menyangkut hubungan pribadi dengan pria.

Lely (24 tahun), adik semata wayang Nora yang tak kalah pintarnya dengan sang kakak, memiliki kecantikan yang berbeda. Dia sangat modis tapi tidak ‘brand-minded’, periang, cuek tapi gampang akrab dengan orang, nggak takut membina hubungan baru dengan pria yang membuatnya terkesan, lebih terbuka dalam berbagi privasi kepada teman-temannya, namun ingin hidup mapan dalam semua hal, termasuk mendapatkan pria mapan dengan kesetiaan tak terbantahkan. Lely baru saja lulus dan mulai bekerja sebagai PR di sebuah organisasi LSM internasional.

Dalam keseharian, dalam hal-hal ‘mendasar’, dalam melihat cita-cita pribadi, Nora dan Lely ibarat teka-teki serupa tapi tak sama. Sejak kecil, Lely khususnya paling getol berusaha menyamakan atau mengungguli skor kakaknya di bidang akademis dan pengembangan bakat. Keduanya memiliki bakat yang saling mengiris wilayah masing-masing. Ada bakat yang sama, ada bakat khusus yang berbeda, masing-masih sama kuatnya.

Kedua kakak beradik ini memiliki lingkaran sosial dan pertemanan berbeda, meskipun ada sebagian kecil teman-teman yang kenal keduanya. Saat SMA mereka sebagai kakak dan adik kelas. Saat kuliah, mereka mendapati beberapa “mutual friends” juga. Mereka pernah punya pengagum yang sama. Tapi hati Nora tertambat pada satu orang saja yang dianggapnya sang Pangeran (Andre), yang tidak kenal dengan Lely.
Nora patah hati dengan Andre, sehingga beberapa yang mendekati Nora malah beralih nge-fans Lely.  :D

Akhirnya  Nora menikah dengan Kenken, Si ganteng melankolis yang mengancam akan bunuh diri bila cintanya ditolak oleh Nora. Nora luluh sehingga menerima Kenken sebagai pendamping hidupnya, yang ternyata mengakibatkan banyak prahara.
Lely masih bingung memilih cinta paling tulus di antara 2 orang terbaik: Romeo yang keren, kaya, membuatnya serasa sebagai gadis yang dimanjakan sedunia, atau Sandy yang kalem tapi berpribadi hangat dan berkarisma yang membuatnya terkagum-kagum sebagai seorang gadis yang bangga sebagai dirinya sendiri.

Ending: masih menjadi perenungan (happy, sad, menyerahkan pada nasib yang tak bisa diketahui pembaca).
Setting: Jakarta saat ini.

*) Demi DL tugas hari ini, kuposting sinopsis ini dengan asumsi bisa diganti dengan alternatif tema & judul berbeda -- bila ini ternyata kurang "ok" :-p.

Bekerja Jujur Itu Mulia


Orang muda itu usianya kira-kira sebaya dengan ponakanku yang kuliah di semester 6. Wajahnya serius meskipun tidak mengaburkan profil model Rangga-nya si Cinta, katakanlah begitu.

Rambutnya yang gondrong dan tebal semakin mengasosiasikan ingatanku pada keponakanku itu. Suaranya pun sewarna, kalimat singkatnya mengesankan kalau orang ini agak pendiam dan sama sekali jauh dari kriteria urakan. Yang bikin trenyuh, postur tubuhnya kecil, tangannya tidak seperti pekerja bangunan yang pada umumnya berotot dan gempal. Tentu ini bukan bermaksud membuat generalisasi.

Kusamperin dia di rumah tetangga yang sedang direnovasinya bersama dengan teman sekerja. Kutanyakan apa waktu dan tenaganya bisa kupinjam sebentar buat memeriksa genteng rumah, karena kemarin dua kamar mendadak bocor agak besar selama hujan besar bercampur angin kuat mengguyur kawasan perumahan kami.

Namanya memakai huruf yang nyaris sama dengan huruf-huruf namaku, jadi mudah diingat. Dengan sigap genteng yang ternyata pada bergeser sudah dibetulkan letaknya. Lalu kumintai tolong membetulkan kunci kamar yang kemarin sempat dijebol karena tidak sengaja tertutup dari luar pas kupergi buru-buru.

Dia melakukan pekerjaan lain yang meskipun sederhana, tidak bisa kulakukan sendiri karena harus memanjat ini dan itu. Keluarga lagi pada di luar kota, dan menunggu mereka pulang rasanya kurang nyaman. Hujan datang setiap sore dan selalu deras dan lama.

Ini kali kedua dia membantu hal kecil, namun hal kecil itu urgen.Setelah selesai, kutunjukkan padanya salah satu pintu yang perlu diganti, dan kulihat kemungkinan apakah dia bisa membantu di hari lain, kubilang, "Kalau perlu berdua, gak apa biar lekas beres."

Aku memang menanyakan di mana pemborongnya, agar aku tidak melanggar etika memakai tenaga orang. Dia bilang masih minggu depan baru akan tiba dari kota lain. Dengan cepat dia bilang, "Saya juga kadang-kadang menjadi pemborong. Banyak teman-teman tim juga."

Tidak ada nada mengecap atau membual. Tidak ada nada sok sanggup, kutangkap itu sekadar tambahan informasi yang perlu kuketahui. Di kompleks kami, penghuni dilarang mempekerjakan tukang di hari Minggu. Ya, itu hal yang harus dipatuhi warga. Tidak apa, yang penting aku sudah menemukan tukang, yang setidaknya bisa kupercaya dan akan mengatur jadwal kerja bila sudah longgar.

Lalu mengapa aku menuliskan cerita keseharian yang nggak penting ini?
Ada satu hal yang untuk kesekian kalinya membuatku terharu dan mendoakan dalam hati agar orang-orang tulus dan jujur, mendapatkan kesejahteraan yang membahagiakan yang bersangkutan. Sesederhana apa pun pekerjaan atau profesi seseorang, sekecil apa pun upah yang didapat seeorang, bila mereka bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi, apalagi kalau dalam ketulusan selain juga profesional, semua itu sungguh mulia di mataku. Kupercaya, pun begitu Sang Pencipta memerhatikan umatnya satu persatu.

Satu hal lagi yang membuat aku meleleh, begitu pekerja muda itu kuberi sedikit imbalan jerih payah -- selayaknya upah pekerja lepas dalam hitungan proporsional menurut standarku berdasarkan harga pasaran pada umumnya. Dia tidak menampakkan ekspresi berlebihan. "Saya jadi nggak enak, Bu. Kemarin saya sudah diberi uang juga."

Dalam hatiku, "Ini kan upah kerja profesional saja."
Padahal tukang sapu jalanan kompleks yang sebelum ini bahkan mendapatkan "upah" jauh lebih besar untuk pekerjaan yang kurang lebih sama, dan sekarang malah sulit dipanggil ke rumah. Tukang lainnya juga entah pada ke mana, nomor mereka tidak bisa dihubungi, Mungkin HP mereka dicuri ya?
Tukang sapu ini juga baik, sih, tapi agak banyak curcol dan keluhan ketidakpuasan kerja tentang mandornya. Yang penting aku tidak ikut mengompori, dan cukup menyemangati saja agar anak-anaknya di rumah pada sehat dan sekolahnya lancar.

Oh ya, sewaktu pekerja itu berpamitan, kubilang, "Terima kasih, semoga semakin sukses ya." (ucapanku adalah doa tulusku kepadanya, juga buat mereka yang pernah bekerja "membantuku" serta orang-orang jujur lainnya yang kujumpai dalam berbagai kesempatan). | @Indria Salim |

Tulisan ini pertama kali diunggah oleh Penulis yang sama di SINI

Wednesday, October 26, 2016

Latihan Menulis - Membuat Kuis

Tulisan ini dimaksudkan sebagai latihan dengan metode menulis bebas atau strategi free writing yang disarankan oleh para mentor menulis. Ini konon bermanfaat untuk mengaktifkan kegiatan menulis bila suatu saat mengalami kebuntuan atau macetnya gagasan.

Kebetulan beberapa saat ini melintas berbagai berita tentang pejabat A menjadi tersangka dalam tindak pidana korupsi proyek anu; pejabat B tertangkap tangan menerima uang tunai sejumlah sekian ribu dolar amerika, pejabat daerah C terindikasi menyalahgunakan uang dana pembangunan SD untuk sebuah hajatan pribadi, dan sebagainya.
Semua nyata dan bagian dari realita di Indonesia. Semua masih berlangsung, dan tampaknya masih belum banyak calon pelaku yang sedikit citu mendengar kolega atau atasan terbukti melakukan korupsi dan akhirnya menyandang gelar baru sebagai terpidana.

Sedih itu bila pemidanaan tidak menjadikan umat Indonesia lainnya jera, atau mengambil hikmah untuk menjadi warga negara Indonesia yang bijaksana dan amanah -- memikirkan banyak saudara setanah air yang bahkan masih belum pernah mengalami hidup layak, selayaknya standar minimal pendapatan keluarga yang harusnya dinikmati oleh setiap orang.

Tanpa berpanjang kata, berikut ini hasil pembiaran jari-jari mengetikkan semua yang terlintas di benak. Mohon maaf bila pembaca kurang berkenan.

#Kuis khususuntuk yang sempat menjadi tersangka kasus #korupsi atausiapa pun yang sebenarnya tahu sudah mendapatkan uang yang bukan haknya

Saat menerima atau meraup uang yang bukan seharusnya menjadi hakmu, apa yang kaurasakan di lubuk hatimu yang terdalam? Silakan pilih jawaban ini dalam hati saja.

 a. Gembira tak terkira
 b. Bahagia sekali
 c. Bangga sudah melakukan pencapaian
 d. Antara bahagia, puas, sedikit deg-degan (excitedly nervous), merasa sedikit nakal dan seakan kembali ke masa kecil yang polos
 e. Agak was-was, takut ada yang mengintai dan minta bagian
 f. Senang tapi was-was kalau ketahuan dan kena OTT
 g. Senang telah bisa mendapatkan kekayaan lebih banyak lagi demi keluarga tercinta
 h. Senang karena itulah arti perjuangan menuju jalan kekayaan
 i. Puas dan senang karena itulah bagian dari kesuksesan bekerja, meski dalam hati sedikit merasa bersalah
 j. Senang, karena itu artinya kau akan semakin kaya, atau menjadi kaya -- dan sebagai orang yang "kenal Tuhan Yang Maha Tahu", kau diam-diam memohon ampunan-Nya.

 *Isi sendiri hal-hal yang tidak bisa kau ungkapkan dalam kata-kata* |@IndriaSalim

*) Tulisan ini pertama kalinya diunggah Penulis di Sini

Sehat Bergiat, Asyiknya Berolahraga

Hobi Sejak Remaja
Beberapa kegiatan yang paling saya sukai sejak remaja adalah berenang, olahraga jalan kaki, jogging (mencegah risiko cedera, jogging sudah jarang saya lakukan empat tahun terkahir ini), mendengarkan musik – baik sambil goyang kaki dalam posisi berdiri atau duduk di meja kerja, fotografi, membaca, dan menulis.


Olahraga yang Sesuai dan Nyaman di Tubuh
Setiap berolahraga, saya bisa melakukannya sendirian atau bersama sejumlah teman. Dulu sewaktu Lapangan olahraga Istora Senayan masih dalam jangkauan jarak tempuh 20 menit, setiap Sabtu atau Minggu saya bersama beberapa teman janjian jogging di sana. Setelah capek jogging berkeliling lapangan seluas 1 km satu putarannya, kami tidak segera beristirahat duduk-duduk atau makan minum. Kami masih melanjutkan berolahraga tapi lebih lambat geraknya, yaitu senam ringan massal.
Senamnya cukup 30 menit saja, lalu kami berbincang sambil berkeliling lambat-lambat agar kaki tidak kaget dari gerakan lari kemudian langsung berhenti. Kami berkeliling sambil mengabsen kalau ada hal yang menarik di pinggir lapangan, misalnya jajan Pecel Madiun, atau Tiwul – makanan yang akan kami nikmati sepulang olahraga.
Berkenalan dengan Yoga

Saya mengenal yoga untuk pertama kalinya waktu di kantor lama. Kelompok yoga di kantor tidak ada instrukturnya, namun ada dua orang teman yang bisa mengajari kami. Maka bergantian berdiri paling depan memberi aba-dan pengarahan pada kami.

Setiap ada jadwal yoga, kami harus sudah sampai di kantor pukul 06.00 wib. Setelah berganti kostum, kami melakukan yoga di ruang yang biasanya hanya dipakai untuk pertemuan. Pukul 07.30 wib kami selesai, merapikan diri, dan langsung kembali ke ruang kerja masing-masing. Masih ada waktu sekitar satu jam untuk sarapan. Hanya berlatih yoga seminggu sekali, saya dan teman-teman merasakan daya konsentrasi meningkat. Jadi kalau pekerjaan sedang bertumpuk, saya tidak lagi merasa panik.

Pindah ke kantor baru, ada lagi teman yang yoganya lebih mahir. Lanjut lagi yoga di kantor. Di rumah saya tetap olahraga jalan kaki keliling kawasan. Saya mengajak siapa saja anggota keluarga, namun kalau mereka malas bangun pagi, saya berangkat sendiri.


Tips Berolahraga Aman

Saya ingat pernah membaca tips dokter Sadoso SpKO –ahli kedokteran olahraga, bahwa untuk jalan kaki akan efektif bila dilakukan selama 45-60 menit. Jogging pun begitu. Sebelum mulai olahraga apapun, sebaiknya kita melakukan pemanasan atau peregangan otot lebih dulu. Sebaiknya minimal satu jam sebelum berolah raga, kita tidak makan dalam porsi penuh. Minum juga seperlunya. Ini tampaknya adalah untuk mencegah risiko kram atau sebab lainnya yang lebih serius.
Berpindah tempat tinggal, saya malah mengajari tetangga dengan yoga dasar. Meskipun hanya gerakan sederhana, awalnya tetangga saya merasa bahwa tiap gerakannya itu berat. Seiring berjalannya waktu, dia mengaku bahwa semakin lama badannya semakin mudah melakukan gerakan yoga.



Olahraga Setiap Waktu
Jogging atau olahraga lari lain lagi. Awalnya saya lebih suka jogging daripada jalan. Kalau jalan, pergelangan kaki lebih terasa pegalnya dibanding kalau jogging. Tiga tahun terakhir ini saya tidak jogging lagi, melainkan sesekali yoga, dan olahraga jalan kaki secara rutin. Saya tidak terpancang waktu. Begitu terasa kangen jalan, saya berangkat saja. Kadang pagi hari sebelum matahari benar-benar menampakkan senyumnya, kadang saya berangkat setelah pukul 8.00 ketika matahari mulai naik dan menghangat. Akhir-akhir ini kesibukan kerja membuat jadwal olahraga menjadi random. Artinya saya bisa berolahraga sore hari, atau setelah pukul 18.00 wib. Keasyikannya sama, hanya pernik kegiatan sampingannya yang berbeda.

Menyalurkan Hobi Fotografi Sambil Berolahraga
Olahraga jalan pagi saya akhiri dengan menyalurkan hobi memotret. Apa saja yang menarik minat saya dan saya temukan di sepanjang jalan pulang akan menjadi sasaran bidikan saya. Pak Satpam beberapa komplek rumah juga kebagian bidikan saya dan mereka biasanya sangat senang. Abang tukang buah, ibu-ibu penjual nasi uduk, semua seakan hafal dengan kebiasaan saya. Dari kejadian ini saya jadi tahu, mereka paham sosial media juga meskipun bukan pengguna. Kadang-kadang selama berolahraga saya melihat beberapa kejadian menarik, atau yang membuat saya merenung dalam hati, maka sepulang dari olahraga saya bisa menuliskan kejadian itu di blog pribadi, atau di Kompasiana.


Terapi Cedera Dengan Berolahraga
Saya pernah terkena gejala bahu beku (frozen shoulder). Awalnya mungkin karena efek AC di ruang kerja yang arahnya persis ke bahu dan dalam jangka lama. Pemicu selanjutnya adalah cedera ketika menutup pintu bus kompleks yang sangat berat. Dalam pemulihan dan penyembuhan bahu itu, saya justru semakin sering berolahraga jalan kaki, ditambah dengan angkat beban untuk penguatan otot bahu. Saya memakai dumbel paling ringan karena waktu itu bahu kanan masih cedera.  

Peregangan Otot dan Senam Kecil di Meja Kerja
Kalau sedang banyak pekerjaan yang melibatkan kegiatan duduk dan mengetik, saya cukup membuka youtube, memilih video khusus senam rehabilitasi buat penguatan otot pundak. Istimewanya, video itu menyajikan lagu riang, bersemangat, dan menampilkan instruktur perempuan berusia sekitar 60 tahunan yang menularkan aura semangat juga. Saya berlangganan di saluran Youtube-nya. Sejak itu saya bisa setiap saat mempraktikkan sesi-sesi latihan yang disarankan, baik sambil duduk di tengah proses kerja, atau sedang jalan-jalan.

"Paket" Pola Hidup Seimbang Mencakup Olahraga
Sampai sekarang olahraga, menikmati musik, mengurangi makanan berminyak, banyak minum air putih, mengkonsumsi buah, sayur, dan protein serta karbohidrat dengan porsi proporsional sesuai kebutuhan tubuh dan standar saya. Melakukan kegiatan seimbang akhirnya menjadi rutinitas saya, walaupun tidak ketat sekali namun setidaknya ada semacam “kontrol dan pengingat diri” dalam keseharian saya. Seluruh keluarga menerapkan pola kegiatan berolahraga yang kurang lebih sama, hanya saja tidak terlalu intens. Jadi kalau ditanya apa tips yang bisa saya bagikan terkait olahraga, secara mendasar saya melakukannya dengan olah pernapasan. Sambil berjalan, mengatur napas seiring dengan gerak langkah kaki dan tangan. Juga pengaturan kapan minum dan makan sesuai dengan jadwal olahraga yang saya lakukan pada saat tertentu.

Yuk, Berolahraga dan Rasakan Manfaatnya
Banyak ManfaatMenurut saya, olahraga sungguh menyenangkan dan menjadi bagian kebutuhan rutin menjaga kebugaran. Apapun jenis olahraganya, itu bermanfaat sepanjang kita melakukannya dengan benar, sesuai kebutuhan dan kemampuan tubuh, juga yang kita kuasai atau bisa lakukan dengan risiko cedera minimal – misalnya berenang, yoga, berjalan kaki, atau senam ringan, bahkan bila sekadar peregangan dan relaksasi otot kaki, tangan, leher dan pundak sambil mendengarkan musik di meja kerja. Sambil menjaga kebugaran, tubuh terasa segar, suasana hati menjadi gembira, semangat menggebu, dan saya bisa bertemu dengan siapa saja yang juga menunjukkan antusiasme seperti yang saya rasakan. Olah raga setiap hari, sensasinya setara memanjakan diri! Satu keunikan bagi saya, olahraga di mana saja dan kapan saja. |@IndriaSalim
Tulisan ini juga bisa dibaca Fb: @Indria Salim
Atau di Twitter: @IndriaSalim

*) Artikel ini pertama kalinya diunggah Penulis di 
Sini

Antusiasme Itu

CEO (Boss) mewawancarai saya.

B(oss): Kamu punya pengalaman marketing?
A: “Tidak, Pak.”
B: “Posisi yang lowong sebenarnya marketing. Kalau pengertian marketing itu sendiri, tahu nggak?
A: Dari bacaan-bacaan dan interaksi dengan praktisinya, menurut saya marketing itu adalah tentang meyakinkan orang lain untuk membeli produk. Bagaimana "target" menjadi terkesan, berminat, lalu memutuskan membeli dagangan Si penjual.”
B: “Apalagi?”
A: “Marketing bukan saja mengiming-imingi dagangannya kepada calon pembeli, namun juga mengunggulkan dagangannya bahkan bila faktanya bertolak belakang.”
B: Senyum-senyum, “Ya, intinya bagaimana meyakinkan orang Eskimo yang tinggal di kutub untuk membeli lemari es. Tentang orang yang kami butuhkan, mungkin saya harus mencari orang lain yang memang berpengalaman di bidang ini. “
A: “Saya mau belajar cepat.”
B: “Ini posisi manajerial, jadi orang lain akan iri kalau kami merekrut orang yang tidak berpengalaman. Bagaimana seorang manajer akan memimpin staff yang praktis lebih berpengalaman dirinya? Saya sedang berpikir, posisi apa yang sesuai dengan kualifikasimu, dan bisa memberi kontribusi bagi organisasi ini. Ada sesuatu dari wawancara ini yang membuat saya berpikir bagaimana organisasi ini bisa merekrutmu sesuai latar belakang dan pengalamanmu.”

Tanpa terasa, wawancaranya berlangsung dua jam! Yang benar? Rasanya saya seperti menjadi tamu istimewa, berkesempatan mengobrol dengan orang nomor satu di organisasi besar ini. Kalaupun itu saya anggap mengobrol bersifat “resmi”, itu salah satu diskusi terlama sepanjang hidup saya. Sungguh tak pernah terbayangkan suatu hari duduk satu meja dengan seorang CEO sebuah perusahaan multinasional berlokasi di gedung pencakar langit -- di jalan protokol ibukota.

Mengevaluasi diri, kemungkinan selain lulus tahap tes tertulis, seseorang bisa menjadi kandidat yang diperhitungkan karena antusiasme dalam diri yang terbaca oleh perekrutnya. | 25 September 2016 - Indria Salim |

 *Pengalaman lulus tes wawancara, meskipun diberi posisi yang bukan marketing. Tes-nya sendiri diawali dengan tes tertulis yang saya ikuti di minggu sebelumnya.*

Artikel ini pertama kalinya diunggah oleh Penulis di 
Sini

Sales Bank Mau Promosi, Nasabah Berceramah Ramah

Ini pengalaman serupa yang kesekian kalinya. Alih-alih terima telepon dan mendengarkan telemarketer/ sales berpromosi, aku malah kasih ceramah nan ramah sepanjang satu jam (beneran), sambil menyampaikan uneg-uneg kekecewaan pelayanan korporat yang diwakili petugas sales tsb. Lalu, sedikit menyuplik kegiatanku menulis di Kompasiana yang (hanya) sesekali itu. 


Kubilang, "Sudah lama saya ingin menuliskan pelayanan buruk "nama korporat" ini, tapi kecuali kalau sangat fatal akibatnya -- saya memang agak lambat menuliskan keluhan secara publik. 

Sebaliknya saya bisa spontan menuliskan apresiasi atas pelayanan yang baik oleh korporat yang saya amati berproses dari mutu "kurang" berubah menjadi "sangat memuaskan". Hanya saja, menuliskan pujian atas pelayanan korporat / produk merek tertentu perlu bijaksana juga. Salah-salah orang mengira saya dibayar atau mendapat sponsor untuk menuliskan "testimoni" sukarela itu.
(Mas Sales tertawa).

Tadi pagi, aku membuat si sales citibank mendengarkan "ceramah'ku selama satu jam dengan suka rela. Lalu katanya, "Karena percakapan ini direkam, maka waktunya maksimal 1 jam. Karena keluhan ibu menyangkut bidang lain, maka rekaman percakapan tadi akan saya "forward" ke bagian terkait. Terima kasih, saya mendapatkan banyak pelajaran."


Nama akun di Kompasiana apa, Bu. Saya jadi pengin baca tulisannya."

Aku tertawa, "Ayo sekalian nulis di Kompasiana, Mas!"

Sales, "Oh, bukan yang blog pribadi, ya Bu? Lebih suka nulis di situ? Saya nggak bisa menulis."

Aku kembali tertawa, "Iya, kalau di Kompasiana itu pembacanya kan dari kalangan yang lebih luas. Di sana siapa saja boleh menulis, juga buat yang merasa nggak pede."

Ngomong-ngomong sudah berapa lama bekerja di tempat sekarang?"

Sales, "Baru satu tahun, Bu."

"Ah, jadi tidak sia-sia saya tadi cerita soal korporat Anda dan membandingkan mutu pelayanannya sebelum dan sesudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini. OK, saya juga mau melanjutkan pekerjaan yang tadi terinterupsi oleh telepon Anda. Semoga sukses dengan tugasnya, ya?

Sales, "Haaha, amin, amin, terima kasih doanya, Bu." 

4 oktober 2016 | @IndriaSalim

Artikel ini pertama kalinya diunggah oleh Penulis di Sini