Aku dilahirkan di hari Minggu siang, bulan Januari 26 tahun
lalu. Akta kelahiranku menyebutkan nama lengkapku Nora Putri Satriawati, lahir
di Jakarta Selatan, Indonesia. Aku tinggal bersama keluargaku – Papa Satria
Bhakti dan Mama Windria Kesti. Tempat tinggalku sejak lahir sampai kini tidak
berubah, terletak di Jalan Bacang, Mayestik, Jakarta. Sampai sekarang pohon
belimbing di samping rumah, tepatnya di samping kamarku menjadi saksi betapa
aku bahagia tinggal bersama keluargaku di sana. Kubisa bilang kalau keluargaku
sungguh hangat, penuh cinta dan kasih sayang, dan berkelimpahan. Berlimpah
hampir segalanya ha ha ha.
Kumasih ingat ketika berusia 4 tahun, mulai belajar piano
pada guru privatku yang sampai sekarang masih menjadi guru terbaikku. Saat itu
adikku, Lely berusia satu tahun. Adik yang menggemaskan, dan sangat latah. Aku
sangat menyayanginya. Aku merasa mendapatkan teman dan sasaran iseng. Kucubit
Lely saat tidur di pangkuan mama, kubangunkan dia kalau kupikir tidurnya
kelamaan, dan kugeret-geret dia karena aku ingin menggendongnya juga, seperti
orang dewasa lainnya.
Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.
Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “
Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.
Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.
“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
Sejak kecil aku seperti menjadi sampel sekaligus subyek tester. Apa-apa selalu aku duluan yang harus melakukan. Mau makan, papa mengingatkanku untuk cuci tangan, tapi Papa nggak menyuruh Lely juga. Papa malah bercanda dengan Lely. Dan itu sudah biasa.
Hari ini weekend. Aku rencana akan bertemu kawan-kawan lama. Lely kenal sebagian di antaranya, ada Nevy, Aurel, Vindy, dan Rio. “
Hanya empat kawan lama, namun kalau sudah kumpul, serasa bisa menggocang dunia,” begitulah selalu ungkapan sirik Lely kepadaku bila dia nggak kubolehkan ikut nimbrung ngobrol dengan kawan-kawanku.
Kucari-cari jeans yang menjadi pakaian andalanku, dan Lely mencerewetiku saat aku bingung memilih padu padan pakaian untuk acara pagi itu.
“Kalau orangnya memang cakep, ya pakai apa saja akan ok,” cibir Lely.
“Sudah sana mandi dulu!” sergahku padanya.
“Suka-suka gue-lah!” Lely mulai sengit.
Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!
Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam. Hanya saja, semakin aku diam, semakin Lely menjadi sewot dan mencari gara-gara. Sebel banget. Sebel pakai banget!
Akhirnya setelah aku siap berangkat, Lely merecoki aku lagi.
“Kak, aku nebeng ke perpustakaan Depdikbud ya? Please!”
Aku tahu Lely tahu. Aku tahu Lely sengaja menghambat
kesenanganku. Arah perpustakaan sangat berlawanan dengan rute kopdarku dengan
teman-teman. Tapi daripada batal karena berantem, aku peringatkan Lely,
“Buruan, lima menit harus siap di mobil.”
Di mobil Lely menginterogasiku seperti detektif abal-abal.
Satu pertanyaan dijawab, lanjut dengan pertanyaan lain. Aku paling sebel kalau
Lely memancingku untuk bercerita tentang Andre. Pedih, tahu! Lely sengaja
mengoprek dan mengorek sampai dia puas membuatku melow. Ah, masa aku bisa
melow? Dalam hati saja sih, kalau di depan Lely, tentu kuberusaha tampil tabah,
kadang malah sedikit sangar. Huh!
Begitulah pagi itu aku memberi sedikit mengancam Lely.
“Bisa diam, nggak sih, Leltje” Memang aku nggak bisa membalas keusilanmu apa? Mentang-mentang jadi adik, lalu ngandelin aku harus selalu mengalah? Kalau lagi butuh aja, kamu manis seperti premen meleleh. Capeeek deeh!”
Lely terdiam, mungkin dia menyadari kelakuannya yang agak
keterlaluan padaku. Atau, mungkin dia hanya menahan diri saja, karena toh aku
ini kakaknya. Kakak yang selalu harus siap memakluminya, mengalah, dan yah
begitu deh aku sampai males menjadi kakak terus menerus.
“Bye, Kak!” Lely melangkah cepat menuju lobby Perpustakaan
Depdikbud.
‘Huh, cuek sekali anak ini. Nggak pakai bilang terima kasih
pula,’ batinku.
Sore itu hujan menggericik tak berhenti. Sejak pukul 16.00
wib – petir dan angin kuat menambah dominasi alam, “Hey ini aku Sang Hujan dan
kawab-kawan sedang berparade”.
Papa dan Mama sedang ke kondangan rekan bisnis. Hanya ada
aku dan Lely. Hujan yang garang menyatukan kami berdua. Petir tak berhenti
menggelegar, dhuar dhuar! Biasanya lampu PLN mati karena sengaja dipadamkan
dari pusatnya, tapi tidak sore ini. Kami nonton video film terbaru. Nah, hanya
saat nonton film begini, aku dan Lely saling kompak. Nggak sengaja, tapi
seringnya kami kompak.
“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.
“Kak, mau kubuatin Milo dingin?” Lely beranjak buru-buru ke dapur.
Milo dingin, kopi dingin, itu kesukaanku memang. Lely tahu
menyenangkan hatiku di saat-saat yang tepat. Agar kami tidak saling mengejek
dan meledek. Lely tidak suka hujan, Lely tidak suka tempat basah.
Lalu kami berbincang tentang ending film yang baru kami
tonton. Di sini kami mulai berbeda pendapat tentang tokoh favorit. Lely suka
Hanna yang cerdas, aku lebih membela Conny yang manja dan lembut. Tapi kapi
menikmati bincang ini, sambil menyeruput Milo dingin dan cemilan chees
puff kesukaan kami.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.
Minggu penuh warna, berakhir manis dalam catatan harian yang kurang lebih sama -- nonton The Girls From Ipanema.
Malam harinya, senyap. Ya, senyap. Mama dan papa belum
kembali dari kondangan. Oh, hampir lupa, dari kejauhan terdengan suara kodok
bersahut-sahutan. Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung! Kong-kong-thet-thot-bung!
Di antara itu suara hewan malam entah apa, “Crek-crek-crek-ecrek ecerk ecerek ecrek!” Kubayangkan itu suara semacam serangga yang hidupnya bergerombol. Suaranya memang antara sayup dan tidak. “Arah angin!” kata Lely menegaskan mengapa suaranya kadang terdengar jelas, kadang menghilang, dan seringnya kedengaran pelan dan konstan.
Lely dan aku tenggelam dalam bacaan masing-masing. Aku
membaca “Far from the Madding Crowd”, sedangkan Lely membaca “Pillow
Talk”-nya Christian Simamora. Sesekali aku mengumpat kecil, “Buku ini
ceritanya kelam banget deh!”
“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”
Usiaku dan Lely selisih dua tahun. Kuingat main pikebo dengannya saat aku berusia 3 tahun. Lely yang matanya lebar dan bulat, dengan tatap penuh ingin tahu. Kulitnya lebih putih daripada aku. Rambutnya lebih kriwil daripada aku. Tangisnya lebih kencang daripada aku. Lely yang tidak takut tidur sendiri di pojok kamar yang lampunya dimatikan. Itu dulu!
“Kakak, jangan sebutin dulu ceritanya. Aku benci spoiler. Kubalas, lho.”
Usiaku dan Lely selisih dua tahun. Kuingat main pikebo dengannya saat aku berusia 3 tahun. Lely yang matanya lebar dan bulat, dengan tatap penuh ingin tahu. Kulitnya lebih putih daripada aku. Rambutnya lebih kriwil daripada aku. Tangisnya lebih kencang daripada aku. Lely yang tidak takut tidur sendiri di pojok kamar yang lampunya dimatikan. Itu dulu!
Sejak mengenal cerita horor dan misteri, film-film goosebump itu, Lely kadangkala tidak
berani ke kamar mandi sendirian, khususnya bila tidak ada siapa-siapa selain
aku sendiri. Lely sudah bekerja dan mandiri, di kantornya – kata orang-orang.
Di rumah, Lely tetap adik kecilku yang ingin selalu menang, lebih diperhatikan,
terus bertanya sampai penjawab lelah atau kewalahan, termasuk mama dan papa.
Rumah kami tidak besar-besar amat. Ini rumah bertingkat dua
yang dibangun sebelum aku lahir, kata mama. Di depan ada pagar dan semi pagar
hidup – serangkaian semak melati, kembang sepatu, dan pohon bugenvil. Sisi kiri
adalah tembok batas dengan tetangga, pun sisi kanan. Tempat parkir ada di sisi
kiri dan sisi kanan, cukup menampung tida mobil. Namun seringnya hanya ada dua
mobil, mobil papa, dan mobilku sendiri. Parkiran satunya buat mobil tamu atau
famili yang kadang mengunjungi kami.
Pohon belimbing! Nah, itu pohonku dan Lely. Pohon tempat
khayal kami berdua menyatu dalam sebuah cerita berbeda sudut pandang. Lely
punya teman Ratu Peri Kendzie, dan aku mengenal lebih akrab dengan Peri Bunga
Belimbing. Hahaa, Pohon Belimbing dengan Ratu Peri Kendzi dan Peri Bunga
Belimbing yang usia mereka sebaya dengan usia mama dan kami. Pohon
keberadaannya lebih tua dibanding rumah kami, menurut mama.
Ikatan seleraku dengan Lely juga terpaterikan dari kehadiran
piano besar warna hitam yang terpajang megah di sudut ruang keluarga. Ruang
keluarga sendiri berada setelah ruang tamu yang terdesain di bagian terdepan
rumah kami. Ruang depan dan ruang keluarga hanya ditandai dengan satu set
perlengkapan audio visual Andre, jadi kalau ada tamu keluarga, ruang geraknya
lebih leluasa.
Kadang aku dan Lely bergantian menyuguhkan permainan piano yang
kami sukai. Di ruang tamu kami bisa menyaksikan film-film dari tivi kabel
berlangganan, atau video koleksi kami.
Rak buku khusus ada di ruang keluarga. Awalnya hanya ada
satu rak buku, dan untuk menampung buku masing-masing, ada rak buku Lely dan
buatku sendiri. Itu semua perjalanan literasiku dan Lely kecil.
Koleksi video film itu punya kami berdua, atau tepatnya
milik keluarga. Ada ratusan video, yang dibeli papa, mama, atau aku dan Lely.
Itu setelah aku punya pendapatan sendiri. Koleksinya lengkap, dari film kartun
klasik sampai film laga dan horor. Dari film Princess sampai film paling gress
– “Ada Apa dengan Cinta jilid 2”, halah!
Oh ya, Milo dingin bikinan adikku menjadi tradisi kami
berdua. Milo bikinan Lely mengingatkan kami pada bubble tea “Hop Hop” di Mall
dekat rumah, hahaha. Ada banyak kenangan manis ketika kami mendapatkannya
sebagai minuman istimewa. Itu ketika papa baru datang setelah beberapa hari
tugas luar kota, dan tidak pernah memberitahu kami kapan hari tepatnya dia akan
sampai kembali ke rumah.
Nah suatu hari ketika aku dan Lely sedang belajar
menjelang makan malam, ayah datang seperti tanpa langkah kaki. Kami semua
dibuat terkejut olehnya. Dan dia mengangsurkan secangkir besar Hop Hop untuk
aku dan Lely, hmmmm
Seperti soal selera buku, pun begitu selera memilih varian
Hop Hop. Aku dan Lely punya persamaan sekaligus perbedaan selera. Kadang aku
mencontek pesanan Lely, dan sebaliknya. Kadang kita sengaja memilih varian
berbeda. Lely memilih coklat susu vanilla, dan aku memilih green tea vanilla
yang sebenarnya membuat wajahku menyeringai saat meminumnya. Itu membuat Lely
tergelak ngakak tak henti-hentinya. Aku juga. Aduh, baru mengingatnya saja aku
sudah ingin ngakak lagi haahaa.
Ah! Mengapa aku jadi melantur ke mana-mana ya. Baiklah aku
lanjutkan saja membaca bukunya. Andre sesekali datang ke rumah. Dia kenal Lely,
meski sangat jarang mengobrol. cowokku sebaya denganku. Dan pacar Lely? Aku
bahkan tidak tahu mana cowok yang terdekat dengannya.
***
Hari Minggu
Adikku tersayang, Aku sebal padamu
Aku terbangun sekitar pukul sembilan pagi, sudah siang untuk
sebuah Minggu yang entah kenapa kurasakan aneh. Semua sepi. Semua
meninggalkanku entah ke mana. Aku galau. Aku benci suasana ini. Semua kosong.
Aku menyesal tidak bangun lebih awal. Ke manakah Lely? Papa dan Mama?
Pelan-pelan ingatanku kembali. Hah? Aku gagal memenuhi janjiku sendiri akan jogging pagi. Aku gagal mengalahkan Lely berlari lebih cepat. Dan sekarang aku seperti anak hilang, tak ada yang menemukan. Tak ada tempat bertanya. Huh.
Pelan-pelan ingatanku kembali. Hah? Aku gagal memenuhi janjiku sendiri akan jogging pagi. Aku gagal mengalahkan Lely berlari lebih cepat. Dan sekarang aku seperti anak hilang, tak ada yang menemukan. Tak ada tempat bertanya. Huh.
Lalu kusapu pandangku ke sekeliling ruang. Oh! Aku lega
sedikit karena sempat merasa tak mengenali ruangan tempat tidurku sendiri. Sambil
mengumpulkan nyawa yang terserak dalam mimpi malam yang aneh, aku mengucek-ngucek
mata, satu per satu ingatanku tentang mimpi kembali bermain di kepalaku yang
agak pusing. Beginilah rupanya bangun kesiangan. Pengin teriak rasanya, sebal, menyesal,
sebal.
Satu hal yang membuatku mendadak sedikit terhibur sekarang, aku
akan bertemu Si Ganteng Andre. Sedang apakah dia? Oh, kenapa aku nggak periksa
telpon cerdasku? Aku seperti tersengat kalajengking, kulempar selimut
sekenanya, ouch! Hampir saja. Telpon kesayangan sudah kududuki sejak aku bangun
dari tempat tidur. Panas sekali badanku, atau telponnya yang memang panas
karena kududuki?
Ada sederet pesan WA dari Andre, dari Lely, dari mama – Ya ampun
tidurku seperti kerbau pingsan! Apa ini karena semalam aku begadang menuntaskan
baca novel? Atau karena sprei kasur habis diganti dengan yang baru? Ah aku
mencari kambing hitam penyebab bangun kesiangan. Sungguh perlu waktu lama untuk
mengubah mood ini.
Tiba-tiba kuingat waktu kecil dulu, saat aku ketiduran sore
hari, aku nangis meraung-raung tidak rela mengapa waktu sore yang indah
kulewatkan dengan ketiduran tanpa ada yang membangunkanku.
‘Ah, stop being melancholy, Nora!’ kuhardik diri sendiri.
Kuteguk cepat segelas air putih hangat. Anggap saja ini obat
galau. Dengan langkah terseret, kumenuju kamar mandi. ‘Oaah segarnya air hangat ini. Mmmmmmmm
aku baik-baik saja!’
Nora membuka kulkas. Penuh makanan dan minuman. Nora membuka almari tempat menyimpan segala makanan kering. Di sana ada bolu panggang, sus kering, pop corn, ah – tiada cemilan tanpa Lely. Lely lagi, Lely lagi. Ya, Lely itu menyebalkan tapi bikin kangen. Nora merasa seperti kanak-kanak lagi, berebut makanan kesukaan walau makanan lain tersedia hanya karena Lely selalu ingin memiliki apa yang menjadi jatah Nora.
Nora membuka kulkas. Penuh makanan dan minuman. Nora membuka almari tempat menyimpan segala makanan kering. Di sana ada bolu panggang, sus kering, pop corn, ah – tiada cemilan tanpa Lely. Lely lagi, Lely lagi. Ya, Lely itu menyebalkan tapi bikin kangen. Nora merasa seperti kanak-kanak lagi, berebut makanan kesukaan walau makanan lain tersedia hanya karena Lely selalu ingin memiliki apa yang menjadi jatah Nora.
Sepuluh tahun lebih masa itu berlalu, namun saat ini semua
berkelebatan kembali di benak Nora. Ada bianglala dalam flashback memori itu,
ada kegembiraan polos yang dia rindukan sekarang, ada banyak kenangan yang
rasanya tak mungkin kembali menjadi nyata semata karena Nora menyadari, dunia
kana-kanak memang bukan dunia dewasa.
Sesaat kemudian, Nora memilih secangkir kopi hangat untuk
membuka paginya yang sudah mendekati siang. Semua serba tidak sesuai dengan
masanya. Ya, mungkin itulah hidup kekinian. Semua seperti tidak beraturan dan
ketidak beraturan itu menjadi yang beraturan seiring dengan tuntutan masa. ‘Apa
pula ini?’
Nora teringat kembali saat menjelang pulang dari kantor
Jumat yang lalu. Andre menjemputnya di kantor. Teman-temannya bersuitan dan
riuh meledekinya.
“Asyik, asyik ada yang dijemput euy,” begitulah teman-teman Nora yang sedikit mirip Lely yang usil bin nyebelin.
“Asyik, asyik ada yang dijemput euy,” begitulah teman-teman Nora yang sedikit mirip Lely yang usil bin nyebelin.
Nora sedikit menerawang, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba
ceria dengan menyeruput kopinya yang mulai menghangat, pelan-pelan – menghirup wangi
aroma kopinya, merasakan sensasi lembap uapnya menerpa wajahnya. ‘Mmm not bad
at all’.
Nah, sekarang dia merasa lapar. Ini tanda baik. Selera makan
itu indikasi kalau seseorang dalam keadaan baik dan sempurna. Setidaknya
pencernaan dan metabolisme tubuh berfungsi sempurna. Kriyut-kriyuut begitu
bunyi perutnya.
Nora sedikit menikmati rintihan perut, anehnya.
Lalu, ‘Terima
kasih, Tuhan, aku sehat dan baik-baik saja’. Hanya dia dan Tuhan, serta perut
tipisnya yang saling mendengar. Nora beranjak ke kamarnya, meraih telpun
genggamnya, “Ya Sayang, ini aku. .. “.
Seketika semangatnya melonjak ke permukaan. Matahari hangat
memanjakan, begitu perasaan Nora sehabis berbicara dengan Andre yang tengah
sibuk dengan kegiatannya sendiri.
***
Bertemu Andre
Saat ini mood Nora sudah berbeda dengan setengah jam yang
lalu. Sekarang semua tampak indah dan hangat. Cepat-cepat diteguknya sisa kopi
yang sudah hampir dingin. Cewek itu menyapu sekeliling ruang, seakan mencari
sesuatu yang dia sendiri tidak begitu yakin yang ada di benak. Semua yang
tampak hanya wajah Andre, wajah yang membuatnya tenang dan gembira, sorot mata
yang meyakinkannya sebagai cewek yang dicintai dengan istimewa oleh cowok
paling istimewa sedunia. Sejenak Nora melupakan Lely dan orang tuanya. Seluruh
jiwanya terbawa oleh kegembiraan akan bertemu dengan pujaan hatinya – Si Macho
Mucho, begitu panggilan sayangnya khusus untuk Andre.
Ada misscal, juga pesan WA. Telpon
genggamnya tertinggal di ruang makan. Nora tenggelam dalam lamunan bahkan saat
dia sedang memilih-milih baju di almarinya. Benar-benar melamun sampai ada
miscall dan WA nyaris terlewatkan.
Jadi begitu ya? Cewek itu membatin geli dengan mood melankolis
dan lamunannya sendiri.
Sebentar lagi Andre akan datang. Mereka berencana
mengunjungi Kota Tua, potret-potret di sana, lalu makan siang di restoran
Samudra, menikmati angin laut, memandangi kapal Pinisi, ngobrol berdua saja.
Satu keasyikan dinikmati berdua – Nora dan Andre adalah
menikmati angin laut, ngobrol tentang buku yang terakhir dibaca, sedikit
tentang politik, sedikit tentang pekerjaan, dan sebagian besar tentang hati.
Ya, bicara dari hati ke hati!
***
Di beranda rumahnya, Nora dan Andre berbincang tentang pohon
anggrek yang mulai menyembulkan kuncup bunganya yang pertama. Andre sangat
mempesona menceritakan sejarah anggrek, dan proses berbunga serta cara
pemeliharaannya. Di rumah Andre banyak pohon anggrek. Itu yang membuat Nora
semakin mengagumi cowok satu ini.
Semua pohon anggrek di rumah Andre itu hasil
ketekunan Andre merawat, membiakkan, menangkarkan, menyilangkan antar jenisnya.
‘Nggak semata wajah ganteng!’
Kadang untuk hal seperti itu, dalam kekaguman yang tak
terucapkan – Nora hanya menggumam dan memandangi cowok di depannya, “Wow!”
Dan tahukah itu mengapa? Nora yang biasanya penuh percaya
diri, tegas dan cerdas seakan menjadi kelu bila berhadapan dengan Andre. Ini
bukan hanya sekali. Nora merasa tak berkutik menghadapi pujaan hatinya. “Speak
your mind, please,” Andre membangunkan lamunannya.
Memang – Nora mengakui dalam hati, perasaannya membuncah
setiap kali dia berada hanya dengan Andre. Kadang terbersit di benak Nora,
bagaimana kalau masa indah itu berakhir – ‘Oh, No!’
Tapi saat ini pikiran dan hati cewek itu seluruhnya dipenuhi
oleh satu nama, Andre, Andre, dan hanya Andre. Rasanya dia akan siap menerima
tantangan dan risiko apa pun demi selalu menjadi bagian penting hidup Sang Matahari.
***
“Let’s go!” Andre menepuk pundak Nora pelan.
“Tapi, tehnya belum dihabiskan,” Nora mencoba membujuk
Andre duduk sedikit lebih lama di beranda. Mumpung anggreknya sedang
menyembulkan senyum indahnya.
Andre tersenyum memperlihatkan selarik giginya yang
mirip gigi palsu. Putih, deretannya sangat teratur dan rapi, sempurna. Cowok
berpostur tegap dan jangkung ini menarik lengan Nora menuju ke pohon anggrek.
“Ini akan memakan waktu seminggu sebelum bunganya merekah,” Andre
menjelaskan setengah berbisik. Nora menelengkan wajahnya. Andre sangat
menyadari kalau Nora mendengarkannya sungguh-sungguh.
Nora menghayati setiap tatapan cowok ini seakan ingin membekukan keindahan rasa yang meluapkan kekagumannya. ‘Dan itu membuatku semakin cinta,” keluhnya.
Nora menghayati setiap tatapan cowok ini seakan ingin membekukan keindahan rasa yang meluapkan kekagumannya. ‘Dan itu membuatku semakin cinta,” keluhnya.
***
Matahari beranjak semakin tinggi. Bagi Nora, itu tidak
penting seandainya hari ini tidak sedang bersama Sang Matahari.
‘Aku ingin semua hari seperti saat ini, oh Tuhan,’ Nora menikmati setiap menit dan detik bersama Andre. Itu sudah.
‘Semua menjadi indah, hatiku sangat bahagia – dan itu karena
Sang Matahariku.’
Nora tersenyum dengan mata nyaris tanpa kedip, memandangi,
mendengarkan, dan mengagumi seseorang di sampingnya. Andre tersenyum lucu. “I
love you, too,” Andre memeragakan tangannya mendekap dadanya sendiri, dan
mengulurkan kedua telapak tangannya menyatakan cinta.
Cekrek! Cekrek! Lalu puluhan foto selfie memenuhi memori
gawai kedua insan bayangan Sang Matahari – di hari Minggu itu.
***