Saturday, August 29, 2015

Ocehan Garing

Ini tentang asyiknya bersantai dengan anak-anak yang lagi liburan di rumah. Bersahut-sahutan pantun dengan anak-anak yang lagi belajar bahasa Indonesia. Lucu mendengarkan mereka memahami dan berlatih teori komposisi pantun dengan 'sampiran' dsb.

Aku nimbrung ngasal, lalu anak-anak tergelak menertawaiku. Kadang mereka mengerutkan alis berusaha memahami, atau menganalisis sesuai logika mereka.

Anak-anak memang polos, dan itu sebabnya, mendidik mereka dengan contoh itu mutlak. Petatah petitih gaya ibu atau bapak bijak, tidak akan ngefek kalau kita sendiri tidak melakukan sesuai nasihat kita pada mereka.
Itu sebabnya, jangan pernah melakukan kebohongan, atau bertindak yang tidak sesuai dengan yang kita nasihatkan pada anak-anak. Kalau suatu ketika anak-anak memergoki orang tua (baca: dewasa) melakukan hal tidak bijaksana, mereka akan langsung meradang dan protes.

Anak-anak  memercayai kita, Kalau yang kita katakan di luar pemahaman dan bayangan, mereka paling akan berkata, "Masa' sih?", "Itu beneran?", "Lalu kenapa bisa begitu?" dan banyak ungkapan pertanyaan dan pernyataan kritis lainnya.

Makanya, nggak kebayang gimana rasanya jadi anak yang orang tuanya koruptor, pelaku pornografi, atau penyelundup narkoba. Hadeuh, kasihan anak-anak itu terlahir dengan pikiran murni. Mereka pasti bertanya-tanya bagaimana orang tua yang mereka patuhi nasihat bijaknya, malah melakukan hal yang sebaliknya.

Lha, ini ceritanya aku lagi pengin nulis yang lucu-lucu, tapi kok hasilnya malah seperti ocehan garing, ya? Garing memang!

Pernah suatu hari kami bepergian. Waktu itu lalu lintas tidak terlalu ramai, namun jalur yang kami lewati berjalan lambat. Karena kami tidak mau terlambat hadir di acara konser musik, Ayah anak-anak mencari celah mendahului mobil di depan kami. Nah, ternyata jalan di depan kami kosong tuh.
Mendadak anak-anak berteriak, "Hei itu, Om di mobil sebelah kok menyupir sambil mengetik di 'tablet' sih? Itu bisa mencelakai diri sendiri dan pengguna jalan lainnya, kan? Iiih nyebelin banget sih!"

Begitulah anak-anak. Mereka cenderung spontan, tak bisa kompromi, dan kadang mengatakan kebenaran yang bikin orang dewasa sulit membantahnya. Ini berlaku khususnya kalau ada hal yang nggak beres tertangkap oleh mereka.

Kembali ke topik. Berbalas pantun dengan anak-anak. Okelah kalau begitu, kucoba deh menulis ulang pantun anak-anak itu.

Burung kepodang kuning bulunya, sperti bayi mungil bening matanya.
Bangun siang nyesel rasanya, lupa taruh pensil makin stress jadinya.


Tak mau kalah, kubuat pantun juga.

Bubur ayam lezat rasanya, kalau kau tak suka kuhabiskan saja,
Masih muda belajar saja, sudah tua bakal jadi kaya.

Anak-anak tertawa, "Haahaa .. aku belum siap, lagi deh lagi."

Sambil mikir, aku berlagak sok penyair. "Hmm, apa ya?" Lalu kubikin lagi pantun ini.
Jus jambu sangat bergizi, roti keju apalagi.
Sudah capek aku permisi, badan gerah pengin mandi." (maklum hari ini cuaca panas)


Anak-anak menertawaiku, "Aah pantunnya gak jauh-jauh dari makanan melulu! Ketahuan tukang makan!"

Aku: "Ya, bagaimana ya kita kan perlu makan. Biar tubuh sehat dan berisi," jawabku ngasal.

Anak-anak terbahak, "Haahaa .. lho kan sudah  gendut?!"

Waduh!

"Ya sudah, sekali lagi ya, habis itu giliran kalian." 
Maka muncullah pantun ini.
Bunga mawar kuning indah sekali, nangkring di pagar rumah tetangga,

Belajar bahasa asing, sulit sekali, sampai nungging-nungging ' ku dibuatnya.

"Apa tuh 'nungging-nungging?"


Ternyata mereka belum mengenal kata ini. 'Jangan-jangan ini bukan bahasa Indonesia, ya?' batinku.

Begitulah sekilas catatan siang tadi. Ah aku jadi lupa, apa ya pantun versi anak-anak  tadi?*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana, yang bisa dilihat di *) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana, yang bisa dilihat di Sini  .  |Twitter: @IndriaSalim

No comments:

Post a Comment