Saturday, August 29, 2015

Tantangan Menghitung Berkat

Counting the Blessings Challenge, "Tantangan Menghitung Berkat" atau"Tantangan Pengungkapan Rasa Syukur" saya terima dari seorang sahabat di facebook. Kebetulan komunikasi saya dengannya lebih sering dalam Bahasa Inggris, meskipun ia orang Indonesia. Bukan apa, ini hanya soal kenyamanan dan kebiasaan kami berdua, katakanlah --- sudah tradisi sejak lama di antara kami berdua. Jadi, sambil melancarkan ketrampilan berbahasa Inggris, maka saya menuliskan beberapa hal yang membuat saya bersyukur selama satu pekan yang sudah berlangsung, termasuk hari ini.

Saya membaginya di Kompasiana, dengan harapan bahwa ini bisa memberi setitik inspirasi buat para pembaca yang baik budi dan tidak sombong (mungkin juga rajin menabung, seperti si Amri, yang saya kenal dalam nyanyian saat SD. Amri yang tidak pernah membolos ke sekolah). Ah, ini percobaan saya melucu sedikit.

Nah, di bawah ini ungkapan rasa syukur seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Bagaimana pun, kita perlu menyadari bahwa sebenarnya hidup itu relatif singkat. Perjalanan hidup ini, bagi kebanyakan orang tentu tidak selalu mulus seperti jalan tol terbaik di dunia. Ada yang menghayatinya penuh perjuangan dan doa. Ada pula yang mengeluhkannya karena merasa diri sangat kurang beruntung dibanding dengan orang-orang di sekitarnya.

Toh semua itu pilihan. Maka akan sangat indah bila kita melaluinya dengan hal berguna, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dalam kapasitas yang kita miliki masing-masing. Tentu, akan sangat sempurna kalau kita bisa menikmatinya sesuai harapan dan dalam kehendak-Nya. Inilah sebagian makna kehidupan yang sebenarnya adalah berasal dari Sang Khalik Langit dan Bumi.

Here is my today's listing ‪#‎Day 1 up to 7 of the "counting the blessings challenge".
Day 1 up to Day 3

I am grateful for having plenty of drinkable water. I read from recent news about the drought and scarcity of clean water and drinking water in some places in my country (Depok, Pati, Klaten).
I am grateful as I don't have to go hungry. I eat what I am craving for, and what is good for my health, too.
I am grateful for the love, support, kindness and all the fun that my family and friends offer and I get to offer them. I specially am happy for having had some deep, wonderful talks with the sunshine of my life.

Day 4 up to day 7

I am grateful for having got back to my routines, after having acute diarrhea and its various forms of unexpected effects.
I am grateful for my family who took care of me timely as I once got fainted in my "diarrhea effect".
I am grateful to have met a good, and sincere doctor who professionally prescribed me the effective medicines and advice.
I am grateful for having a new notebook (Lenovo Thinkpad E440 i5), to replace my old, but amazing and dedicated Lenovo N3100 that I have used it since 2006!
I am positive to have my old notebook totally fixed, including all the data I have gathered within the period of the last few months.
I am honestly somewhat overwhelmed by things to attend. All I have to do is to set a priority list, hopefully realistic and manageable.
Last but not least, I can't be more grateful for having such great blessings by the Lord, and that is especially after having talked with my beloved 79-year old, healthy Mom.
I'll have never been grateful enough to the Almighty Lord, who does never-ending miracles in my life.

*This is to conclude the "Counting the Blessings Challenge" for now. However, I am fully well aware of God's heavenly blessings, which are beyond words that I could express, at least publicly.

For those who wish to voluntarily respond to the CHALLENGE, you may mention me, as your "participation's nominator"*


Ayo siapa mau menjawab tantangan ini?

*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana , yang bisa dilihat di Sini. |Twitter: @IndriaSalim

Motivasiku Membuatku Mampu

"Change is never a matter of ability; it's always a matter of motivation."

(Anthony Robbins, motivator)


Suatu saat, saya dapat panggilan test wawancara di sebuah organisasi regional di kawasan ASEAN. Saya kaget, karena saya lupa kalau pernah mengirim surat lamaran kerja ke organisasi tersebut. Meskipun begitu, saya senang karena bekerja di sebuah organisasi LSM kedengarannya keren. Waktu itu saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan non-formal, dan saya menjadi  pengajar paruh waktu, sekaligus bagian dari staff manajemen (Direksi). Kebetulan, saya merasa itu 'hanya' pekerjaan sela, sambil menunggu peluang bisa bekerja di lembaga resmi dengan cakupan bidang tugas yang lebih luas.

Nah, singkat cerita saya lulus test di kantor LSM regional itu. Saya sangat senang karena saya berhasil melewati tahapan test dan bersaing dengan sesama peserta yang tampak berlatar belakang pendidikan dan berpenampilan keren. Kesan ini saya tangkap dari tumpukan buku-buku tebal berbahasa asing yang ditenteng peserta, dan obrolan mereka di lobby kantor itu, menjelang test diadakan.

Ada puluhan peserta test yang sudah melewati seleksi pemanggilan, dan hanya ada satu posisi. Zaman sekarang malah lebih parah pastinya, satu posisi menjadi rebutan ratusan atau ribuan orang.

Begitu surat pemberitahuan kapan saya harus mulai ngantor itu datang, saya malah gugup dan mendadak tidak percaya diri. Banyak kekhawatiran berkecamuk di benak. Terbayang kesulitan terkait transportasinya, mengingat lokasi kantor yang sangat jauh dari tempat tinggal, bagaimana dengan busananya - mengingat isi lemari yang minim pakaian kantoran yang keren, lalu bagaimana dengan suasana pergaulan antar pegawainya, dan sebagainya. Dan yang utama dan terutama adalah apakah saya akan mampu memahami dan menjalankan tugas sesuai posisi itu, karena sejujurnya itu hal yang sama sekali baru bagi saya. Belum lagi kecemasan tentang tuntutan pekerjaan yang memerlukan saya harus berhadapan dengan banyak orang secara langsung, baik tertulis maupun tatap muka.

Saya bukanlah orang yang cuek, atau suka tampil di depan. Kalau disuruh memilih, saya lebih baik berada di belakang layar, atau di pojok ruang, bekerja sendirian dan menikmati ketenangan dan kenyamanan berkonsentrasi total. Itu bayangan 'dream job' yang ada ketika itu.

Memang, sebagai pengajar & staff Direksi saya tampil juga, namun dalam hal pekerjaan baru itu, saya tahu sangat berbeda sifatnya. Sebagai pengajar, ada sedikit 'otoritas' yang saya miliki dan itu cukup mengurangi kegamangan tampil di depan orang banyak. Itu saja.

Agar siap pindah pekerjaan tanpa banyak cemas, saya menemui seorang sahabat lama yang juga teman se-alumni di kampus, panggil saja namanya Carla. Carla sangat mengenal saya, karenanya dia ikut senang mengetahui kalau saya mendapat pekerjaan yang lebih 'serius' karena menurutnya, hal itu akan membuka cakrawala pengalaman yang lebih luas lagi.

Satu ungkapan Carla mencambuk dan membesarkan hati saya untuk maju dan memulai pekerjaan baru dengan percaya diri, "Fokus dan lakukan yang terbaik untuk tugasmu, maka dengan sendirinya kau akan mampu menempati posisimu."

Sejak itu saya tidak pernah melupakan 'kalimat sakti' itu. Sampai sekarang saya berterima kasih kepada Carla, karena ungkapan bijaknya yang sederhana menjadi tips manjur, dan berlaku untuk banyak hal dalam kehidupan saya. ~ @IndriaSalim
*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana , yang bisa dilihat di Sini . |Twitter: @IndriaSalim

Ocehan Garing

Ini tentang asyiknya bersantai dengan anak-anak yang lagi liburan di rumah. Bersahut-sahutan pantun dengan anak-anak yang lagi belajar bahasa Indonesia. Lucu mendengarkan mereka memahami dan berlatih teori komposisi pantun dengan 'sampiran' dsb.

Aku nimbrung ngasal, lalu anak-anak tergelak menertawaiku. Kadang mereka mengerutkan alis berusaha memahami, atau menganalisis sesuai logika mereka.

Anak-anak memang polos, dan itu sebabnya, mendidik mereka dengan contoh itu mutlak. Petatah petitih gaya ibu atau bapak bijak, tidak akan ngefek kalau kita sendiri tidak melakukan sesuai nasihat kita pada mereka.
Itu sebabnya, jangan pernah melakukan kebohongan, atau bertindak yang tidak sesuai dengan yang kita nasihatkan pada anak-anak. Kalau suatu ketika anak-anak memergoki orang tua (baca: dewasa) melakukan hal tidak bijaksana, mereka akan langsung meradang dan protes.

Anak-anak  memercayai kita, Kalau yang kita katakan di luar pemahaman dan bayangan, mereka paling akan berkata, "Masa' sih?", "Itu beneran?", "Lalu kenapa bisa begitu?" dan banyak ungkapan pertanyaan dan pernyataan kritis lainnya.

Makanya, nggak kebayang gimana rasanya jadi anak yang orang tuanya koruptor, pelaku pornografi, atau penyelundup narkoba. Hadeuh, kasihan anak-anak itu terlahir dengan pikiran murni. Mereka pasti bertanya-tanya bagaimana orang tua yang mereka patuhi nasihat bijaknya, malah melakukan hal yang sebaliknya.

Lha, ini ceritanya aku lagi pengin nulis yang lucu-lucu, tapi kok hasilnya malah seperti ocehan garing, ya? Garing memang!

Pernah suatu hari kami bepergian. Waktu itu lalu lintas tidak terlalu ramai, namun jalur yang kami lewati berjalan lambat. Karena kami tidak mau terlambat hadir di acara konser musik, Ayah anak-anak mencari celah mendahului mobil di depan kami. Nah, ternyata jalan di depan kami kosong tuh.
Mendadak anak-anak berteriak, "Hei itu, Om di mobil sebelah kok menyupir sambil mengetik di 'tablet' sih? Itu bisa mencelakai diri sendiri dan pengguna jalan lainnya, kan? Iiih nyebelin banget sih!"

Begitulah anak-anak. Mereka cenderung spontan, tak bisa kompromi, dan kadang mengatakan kebenaran yang bikin orang dewasa sulit membantahnya. Ini berlaku khususnya kalau ada hal yang nggak beres tertangkap oleh mereka.

Kembali ke topik. Berbalas pantun dengan anak-anak. Okelah kalau begitu, kucoba deh menulis ulang pantun anak-anak itu.

Burung kepodang kuning bulunya, sperti bayi mungil bening matanya.
Bangun siang nyesel rasanya, lupa taruh pensil makin stress jadinya.


Tak mau kalah, kubuat pantun juga.

Bubur ayam lezat rasanya, kalau kau tak suka kuhabiskan saja,
Masih muda belajar saja, sudah tua bakal jadi kaya.

Anak-anak tertawa, "Haahaa .. aku belum siap, lagi deh lagi."

Sambil mikir, aku berlagak sok penyair. "Hmm, apa ya?" Lalu kubikin lagi pantun ini.
Jus jambu sangat bergizi, roti keju apalagi.
Sudah capek aku permisi, badan gerah pengin mandi." (maklum hari ini cuaca panas)


Anak-anak menertawaiku, "Aah pantunnya gak jauh-jauh dari makanan melulu! Ketahuan tukang makan!"

Aku: "Ya, bagaimana ya kita kan perlu makan. Biar tubuh sehat dan berisi," jawabku ngasal.

Anak-anak terbahak, "Haahaa .. lho kan sudah  gendut?!"

Waduh!

"Ya sudah, sekali lagi ya, habis itu giliran kalian." 
Maka muncullah pantun ini.
Bunga mawar kuning indah sekali, nangkring di pagar rumah tetangga,

Belajar bahasa asing, sulit sekali, sampai nungging-nungging ' ku dibuatnya.

"Apa tuh 'nungging-nungging?"


Ternyata mereka belum mengenal kata ini. 'Jangan-jangan ini bukan bahasa Indonesia, ya?' batinku.

Begitulah sekilas catatan siang tadi. Ah aku jadi lupa, apa ya pantun versi anak-anak  tadi?*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana, yang bisa dilihat di *) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana, yang bisa dilihat di Sini  .  |Twitter: @IndriaSalim

Zombie Menyeringai dan Kepedihan Abadi

Hai gerombolan zombie yang baru bangkit dari kegelapan lapisan terbawah kerak bumi, silakan bermegah diri, merasa gagah, merasa cantik dan anggun, merasa jenius, dan berkasta setingkat Dewa Zeus, atau Ratu Ular Beludak --- nikmatilah racun mulutmu yang sedang berbuih-buih, rentangkan cakar kuku busukmu menebar virus kepedihan menyaksikan seorang makhluk kerempeng, berpeluh dan berdarah-darah mencoba menerabas barikade pasukan iblismu.

Aku tidak gentar. Aku dan kawananku --- manusia biasa yang hanya punya secuil nalar, sepotong kewarasan, dan sebiji harapan untuk tetap berjalan maju, menerobos barikade kalian, menuju titik cahaya pembebasan --- agar rakyat Indonesia sejati --- makmur, berbudaya, dan adil merata.

Indonesia tumpah darah kami, jangan kalian mengaku orang Indonesia, kalau yang kalian perbuat hanya membuat bising anak-anak bayi papa, mengaduk hati pelacur haus dunia, dan memeras belas kasihan penunggang hewan bertanduk, bertaring, tak bermata.

Kulihat ulah kalian semua, kuingat tulisan buruk dan laknat yang kau torehkan pada jiwa-jiwa kelana papa, miskin harta, tak punya hati, tak bernyali, namun mulut menganga -- mendesiskan kalimat kematian jiwa, kematian dalam tampilan raga yang bergentayangan, meraba dalam kegelapan. Kalian zombie, kami akan perangi dengan nurani.

Kalian bau wangi, kadang dan sesekali karena kalian menyaru -- bertopeng -- berkedok -- dan kadang, tak bisa sembunyikan diri sebagai zombie aneka rupa.

Dunia bukan milik kalian, bila itu kemuliaan semu.
Dunia bukan dalam genggaman, seperti sangkaan kalian
Dunia adalah ciptaan-Nya
Sang Khalik yang punya kehendak Maha.

Zombie, kau bisa menyeringai ... kali ini
Dan kupercaya, kalian bahkan tak bisa mati
Kerna kalian harus menanggung nyeri
Abadi.
@IndriaSalim


*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana , yang bisa dilihat di SINI .


Kisah Dua Menit

Siang yang cukup menyengat kulit. Seorang kurir mematikan mesin motornya, mengucapkan "permisi" dan menyerahkan surat buatku.
Dia bilang, "Kalau pas nggak ada yang di rumah, saya minta ijin Ibu untuk menyisipkan surat dari pintu ini ya? *dia menunjuk pada kasa pintu luar yang berlubang*

"Oh ya, itu lebih baik daripada di teras (ruang yang lebih terbuka dan mengarah ke jalan). Terima kasih, Mas," ucapku tulus.


Kurir berbadan jangkung dan tipis itu tersenyum dan membungkuk hormat, berpamitan dengan tergesa. Tidak semua kurir seperti dirinya, bersuara lirih, sedikit serak, dan dalam. Aku nggak sempat menawarinya segelas aqua dingin. Sebagai gantinya, kudoakan petugas itu agar hidupnya menjadi berkat, dan membawa pada kesejahteraan dan kecukupannya bersama keluarga, entah kapan.
Ya Tuhan, kurir ini mengingatkanku pada mereka yang punya banyak kelebihan dan fasilitas, namun mereka hambur-hamburkan demi egoisme pribadi/ kelompok, atau demi memuaskan kehausan mereka akan kekuasaan dunia yang semaksimal mungkin.


Semoga rakyat yang bekerja keras dan dengan tulus ikhlas akan mendapatkan "upah", yang lebih memadai dari Sang Maha Kuasa --- yang jauh lebih hebat dari segala penguasa di dunia ini.



*) Tulisan ini dimaksudkan sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana , yang bisa dilihat di SINI .